Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah: Tak Ada Maksud Mengebiri Kewenangan KPK

Kompas.com - 22/02/2014, 10:05 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin menegaskan, tidak ada maksud pemerintah dan tim penyusun rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk mengebiri kewenangan KPK melalui revisi dua undang-undang tersebut.

Amir mengatakan, penyusunan kedua RUU tersebut dilakukan atas dasar sistem nasional dan telah memperhatikan HAM yang universal. "Pemerintah dan Tim Penyusun RUU KUHAP tidak ada maksud sama sekali mengebiri atau menghilangkan kewenangan KPK, namun penyusunan kedua RUU tersebut atas dasar sistem hukum nasional dan memperhatikan HAM yang universal," kata Amir dalam siaran pers yang diterima wartawan, Jumat (21/2/2014).

Menurut Amir, pemerintah telah melibatkan KPK dalam proses penyusunan RUU KUHP dan KUHAP ini. Tahun 2011, katanya, dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHAP yang salah satu anggotanya adalah Chandra M Hamzah (pada saat itu sebagai pimpinan KPK).  Kemudian dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.PP.01.02 Tahun 2011, dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHP.

Mengenai keberatan KPK dengan sejumlah poin dalam RUU KUHP dan KUHAP, Amir menyampaikan tanggapan pemerintah dalam sejumlah poin.

Pertama, menurut Amir, RUU KUHP tidak mengeliminasi keberadaan undang-undang di luar KUHP, termasuk UU tentang KPK. Dengan berlakunya KUHP yang baru, undang-undang di luar KUHP bukan berarti menjadi tidak berlaku karena undang-undang di luar KUHP merupakan lex spesialis (hukum yang bersifat khusus).

"RUU KUHP dan RUU KUHAP merupakan lex generalis (hukum yang bersifat umum-red) sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang merupakan lex specialis," tutur Amir.

Sementara menurut KPK, RUU KUHP ini mengancam keberadaan lembaga antikorupsi itu karena memasukkan delik korupsi dalam RUU KUHP. Dengan dimasukkannya delik korupsi dalam KUHP, menurut Ketua KPK Abraham Samad, sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa bisa menjadi hilang. Padahal, menurutnya, delik korupsi perlu diatur dalam undang-undang khusus, dan tidak dileburkan dalam KUHP.

Selanjutnya, Amir mengatakan, penerapan pendekatan restorative justice dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP sudah sesuai dengan resolusi ECOSOC bulan Juli tahun 2000 tentang basic principles on the use of restorative justice programmes on criminal matters yang diadopsi oleh ECOSOC sebagai pedoman untuk penerapannya dalam sistem pidana nasional.

"Pendekatan ini pada dasarnya ditujukan untuk tindak pidana yang tidak serius yang ancamannya maksimum 5 (lima) tahun jika pelaku berumur di atas atau 70 tahun atau kerugian sudah diganti," ujarnya.

Terkait dengan penghapusan penyelidikan dalam RUU KUHAP, kata Amir, hal ini diserahkan kepada setiap institusi yang telah ditentukan dalam undang-undang masing-masing, misalnya Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Selain itu, katanya, penyelidikan merupakan tindakan yang dilakukan secara diam-diam yang cukup diatur di dalam SOP masing-masing lembaga.

Amir juga menyampaikan pandangan pemerintah mengenai diperpendeknya masa penahanan dalam RUU KUHAP. Menurut Amir, masa penahanan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai dengan kasasi hanya mempunyai perbedaan 41 hari antara RUU KUHAP dan KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981).

"Masa penahanan dalam RUU KUHAP berjumlah 360 hari, sedangkan dalam KUHAP berjumlah 401 hari. Pembatasan mengenai jumlah masa penahanan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR yang berlaku secara universal," tuturnya.

Kemudian mengenai penyadapan, Amir mengklaim bahwa RUU KUHAP telah memberikan keleluasaan kepada undang-undang di luar KUHAP mengatur hukum acaranya masing-masing. Dengan ketentuan tersebut, katanya, KPK dapat melakukan penyadapan tanpa meminta izin kepada pengadilan.  "Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002," sambung Amir.

Mengenai putusan MA yang tidak boleh melebihi putusan pengadilan di bawahnya, kata Amir, hal ini didasarkan pada kewenangan MA itu sendiri yang hanya memeriksa penerapan hukum dari judex jurist (lihat Pasal 250 Ayat (3) RUU KUHAP). Amir juga mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa begitu saja menghentikan pembahasan RUU KUHAP dan KUHP ini tanpa persetujuan DPR.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com