JAKARTA, KOMPAS.com — Partai Demokrat mempertanyakan obyektivitas Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menolak seluruh isi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Hary Witjaksana, menilai bahwa putusan itu membuat MK terkesan tak mau diawasi.
"Dia jadi seakan tidak mau diawasi dengan membatalkan Undang-Undang MK ini. Padahal, pengawasan yang ada di Perppu MK sebenarnya jalan keluar dari persoalan yang terjadi di tubuh mahkamah itu. Tapi lagi-lagi MK menolak," ujar Hary di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (13/2/2014).
Sikap MK yang tak mau diawasi, menurut Hary, terlihat dari keputusannya yang membatalkan fungsi pengawasan dari Komisi Yudisial tahun 2006. Sekarang, fungsi pengawasan di dalam Undang-Undang MK berupa Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) permanen yang berasal dari KY dan Mahkamah Agung juga dihapuskan MK.
Hary lalu mempertanyakan etika MK dalam memutus perkara yang menyangkut lembaganya sendiri. "Agak kurang etis, MK mengadili permohonan terkait dirinya sendiri. MK menjadi agak sulit untuk obyektif," ucap Hary.
Menurut Hary, perlu jalan keluar lain untuk memberikan pengawasan eksternal terhadap MK. Lembaga apa pun, lanjutnya, perlu sebuah sistem check and balances.
Untuk mencari jalan keluar ini, Hary mengaku tidak mudah. Pasalnya, jika DPR mengajukan revisi UU MK lagi, maka tetap hal itu akan berpotensi diuji, dan selanjutnya dibatalkan kembali oleh MK.
"Yang paling diperlukan adalah sikap kenegarawanan dari para hakim konstitusi itu," ucap Hary.
Seperti diberitakan, dengan putusan MK tersebut, substansi UU No 4 Tahun 2014 yang menyangkut persyaratan calon hakim konstitusi, serta pembentukan panel ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) menjadi hilang. MK memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berlaku kembali.
Mahkamah berpendapat, pembentukan perppu yang kemudian menjadi UU MK dinilai tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa. Meskipun kegentingan yang memaksa menjadi subyektivitas Presiden, menurut MK, subyektivitas itu harus memiliki dasar obyektivitas yang sesuai dengan syarat konstitusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.