KOMPAS.com
- DEMOKRASI Indonesia menggeliat dengan caranya sendiri. Unik, rumit, narsis, dinamis, makin pandai, ”sumbu pendek” yang mudah meledak, pemaaf, tetapi sayangnya juga pelupa. Pada pemilu 9 April nanti, komplikasi sifat ini akan diuji.

Kepercayaan publik kepada pemilu tak lagi bisa dimonopoli hegemoni wacana dari pemerintah atau penyelenggara pemilu. Publik yang melek demokrasi memiliki cara tersendiri memverifikasi apakah pemilu nanti bisa dipercaya atau tidak.

Mereka telah muak dengan politisi tua yang terjebak masa lalunya. Jangan lagi ada tekanan kepada publik karena publik kini makin muda, melawan jika ditekan dan membalas menghukum jika dikhianati politik uang.

Salah satu cara memverifikasi kredibilitas pemilu adalah dengan melihat kredibilitas penyelenggara pemilu. Masyarakat tak akan percaya pemilu jika penyelenggara pemilu arogan, berpihak, tidak profesional, dan berorientasi proyek.

Kasus daftar pemilih tetap yang hingga kini belum selesai adalah magnifikasi dari segala kompleksitas ini. Seorang anggota KPU daerah memaparkan, ia dimintai dana oleh oknum dinas pemerintah setempat yang mendapat tugas atasan memverifikasi data kependudukan.

Ketua KPU Husni Kamil Manik sempat memprotes berbagai publikasi terkait DPT yang menyudutkan kredibilitas KPU. Ia tak terima jika DPT yang dibangun KPU kini karut-marut. Analisis seperti itu bisa membahayakan karena publik yang hanya menerima informasi sepotong akhirnya bisa tak percaya pada pemilu.

Pengamanan TI

Menurut Husni, pemilu kali ini KPU memberi kontribusi yang baru pertama kali dibangun bangsa ini, yaitu basis data pemilih yang dibangun secara daring dalam Sistem Informasi Daftar Pemilih (Sidalih). Basis data pemilih inilah sumbangan besar dalam sejarah pemilu Indonesia.

Apa yang dikhawatirkan Husni memang beralasan. KPU telah menunjukkan dirinya mau mendengarkan suara publik. Dalam kasus lain, KPU bahkan sampai memutuskan hubungan kerja sama dengan Lembaga Sandi Negara karena mendengarkan suara publik.

Namun, pada beberapa kasus lain, KPU memilih diam. Menjadi tanda tanya, mengapa KPU masih tetap tak mendengarkan soal pembentukan konsorsium pengamanan teknologi informasi atau soal penjelasan infrastruktur TI yang dimiliki KPU.

Kepercayaan menguat

Terlepas dari persoalan itu, kepercayaan kepada KPU terus menguat. Contohnya, respons parpol soal laporan dana kampanye. Di luar dugaan, semua parpol memenuhi tenggat pelaporan penerimaan sumbangan dana kampanye pada 27 Desember 2013. Padahal, tahapan kali ini, tak ada sanksi bagi parpol yang tak menyerahkannya.

Peristiwa itu merupakan sinyalemen mulai tumbuhnya kesadaran peserta pemilu dalam membangun kredibilitas. Ada yang berpandangan, parpol memang taat dengan aturan KPU. Terlepas semua itu, ada kecenderungan aturan KPU didengarkan peserta pemilu.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional Didi Supriyanto memiliki catatan, hanya karena meremehkan aturan KPU, tiga calon anggota legislatif dari Kepulauan Mentawai dibatalkan penetapannya sebagai caleg terpilih. Peristiwa itu membekas di ingatan Didi.

”Pengurus partai tingkat cabang menganggap dirinya senior dan kebetulan dia anggota DPRD. Dianggapnya aturan KPU soal pelaporan dana kampanye itu hanyalah formalitas yang nantinya bisa ditawar. Tak tahunya, KPU begitu powerful,” kata Didi.

Penegakan aturan kini menjadi tema besar bagi penyelenggara pemilu untuk memperoleh kepercayaan publik.

Terbantu DKPP

Penegakan wibawa KPU juga terbantu ketegasan anggota panel majelis Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie mengatakan, selama 1,5 tahun beroperasi, DKPP telah menyidangkan 171 perkara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

”Sebanyak 393 orang direhabilitasi namanya, 130 orang diberi peringatan, 13 orang diberhentikan sementara, dan 117 orang diberhentikan tetap,” ujar Jimly. DKPP tampak galak karena tujuannya membangun kredibilitas penyelenggara pemilu.