Marzuki menjelaskan, buruknya rekrutmen berkaitan erat dengan lemahnya sumber pendanaan partai. Tiga sumber pendanaan partai yang dilegalkan oleh undang-undang dianggapnya hanya seperti niat baik yang bias.
Sumber dana pertama, kata Marzuki, berasal dari iuran anggota partai, termasuk yang duduk di DPR atau struktural pemerintahan. Akan tetapi, iuran tersebut umumnya tak berjalan lancar, dan hanya anggota partai yang mendapatkan kursi di parlemen atau pejabat negara yang rutin membayar iuran. Besaran iuran dipotong langsung dari penghasilan masing-masing.
"Kita rutin, tapi kan jumlahnya masih sangat kecil. Akhirnya disuruh cari uang, akhirnya kasus, korupsi, dan lainnya," kata Marzuki saat dihubungi pada Rabu (31/7/2013).
Politisi Partai Demokrat ini melanjutkan, sumber pendanaan partai yang kedua adalah berasal dari sumbangan yang tidak mengikat. Marzuki pesimistis ada pihak swasta yang secara sukarela menyumbang sejumlah uang tanpa embel-embel maksud di belakangnya.
"Yang ketiga adalah bantuan negara, jumlahnya kecil dan belum bisa membiayai partai," ujarnya.
Bagi Marzuki, sebelum masyarakat menuntut kepada anggota DPR, seharusnya permasalahan tersebut bisa terselesaikan. Sebab, kinerja anggota DPR sangat berkaitan dengan proses rekrutmen dan kaderisasi di tingkat partai dengan sokongan dana yang memadai.
"Jangan selalu berkutat pada akibat karena (sebab) ini yang harus kita selesaikan. Masyarakat boleh menagih kalau itu sudah dipenuhi," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Tantowi Yahya menyatakan, banyak anggota DPR yang tak berkompeten dan posisinya hanya seperti pajangan di parlemen. Berbeda dengan Marzuki, Tantowi menilai hal itu terjadi karena pemenang pemilihan legislatif didasari oleh sistem suara terbanyak sesuai dengan apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2009 lalu.
Anggota Komisi I DPR ini menjelaskan, sistem suara terbanyak sebagai penentu siapa yang berhak mendapatkan kursi di DPR membawa pengaruh buruk untuk kinerja parlemen. Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa lebih dari setengah anggota di komisinya memiliki kinerja yang sangat rendah.
Sementara itu, sistem suara terbanyak sebagai cara untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan kursi di DPR diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2009. Keputusan MK itu keluar hanya beberapa bulan sebelum Pemilihan Legislatif 2009 dimulai. Aturan yang sama juga akan diterapkan pada Pemilu 2014.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.