KOMPAS.com — Sembari menunggu giliran narik, Abe (30) mengeluarkan botol bekas minuman. Sepertiga botol plastik penyok itu berisi beras. Tepat saat Metromini 46 berhenti di depannya, Abe melompat naik dan mengamen.
Sekali ngamen, Abe yang sejak remaja hidup di jalanan itu sedikitnya mendapatkan Rp 2.000. Uang itu segera dibelanjakan kopi susu. Lain kali, seusai ngamen, Abe menyalurkan hobi merokoknya. Itulah Abe, seorang lelaki yang besar di jalan, menghabiskan hidup dengan ngamen dan narik. Saat ditemui di perempatan Utan Kayu, Jakarta Timur, ia menjelaskan, narik adalah istilah untuk pekerjaan sopir atau kenek bus.
Bagi Abe yang kini telah memiliki satu anak, kehidupan jalanan sudah telanjur melekat. Dia mudah ngobrol ngalor-ngidul diselingi kata-kata kasar. Dia bicara mulai dari pengalamannya ngamen di Yogyakarta, sulitnya mencari uang Rp 45.000 untuk biaya sekolah anaknya di TK, hingga kehidupan malam anak jalanan yang dekat dengan rokok dan minuman keras.
Kisah Abe hanyalah satu sisi kehidupan anak jalanan. Persaingan ketat untuk mendapatkan rupiah demi bertahan membuat kehidupan semakin keras.
Curi-mencuri adalah hal biasa. Leman (14), pengamen di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara, enteng saja mencuri rokok kawannya. Kalau ketahuan? Ya, dia bakal kena pukul pemilik rokok.
Begitupun dengan palak-memalak di antara mereka. Anak baru atau bocah yang lebih kecil menjadi sasaran empuk demi sebatang rokok saja.
Uang merupakan daya tarik bagi anak jalanan. Setelah uang di tangan, mereka bisa melakukan apa pun yang mereka suka. Leman memakai sebagian uang untuk ngelem. Istilah bagi anak-anak yang membeli lem untuk diisap baunya hingga anak-anak itu merasa melayang.
”Biasanya, satu kaleng dipakai delapan anak. Beli lem juga patungan. Kalau sudah ngelem, tambah berani kalau disuruh apa-apa,” ucap Leman.
Emosi anak-anak jalanan juga mudah naik dengan alasan yang kadang kala tidak jelas. Aldi (14) pernah digebuki pengamen yang lebih tua hanya gara-gara dia dikira mencuri gitar pengamen lain.
Tidak hanya di antara sesama pengamen saja mereka harus berhati-hati, serbuan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga harus diwaspadai. ”Mungkin lima kali saya dimasukkan ke panti gara-gara ketangkep Satpol PP,” ucap Mamat (16), pengamen di Cawang, Jakarta Timur.