Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi Pancasila

Kompas.com - 09/05/2017, 21:26 WIB

Oleh: M Fadjroel Rachman

Bisakah pemilihan umum dimenangkan melalui kampanye kebencian? Bisa! Sejarah dunia merupakan diorama perebutan kekuasaan politik dan ekonomi berdasarkan kebencian.

Bacalah Mein Kampf karya Adolf Hitler (1999: 296), kitab suci kebencian terhadap ras dan demokrasi, ”All occurences in world history are only the expression of the races’ instinct of self-preservation.” Enam juta Yahudi dimusnahkan, 60 juta tewas dalam Perang Dunia II, dan demokrasi dihancurkan dengan totaliterisme Nazi walaupun Nazi menang pada awalnya melalui pemilu demokratis.

Dengarlah seruan kebencian Il Duce, totaliterisme fasis Benito Mussolini: ”Tidak ada kompromi antara totaliterisme dan demokrasi!” (Packard, 2003). Kedua rezim totaliter, Nazi dan Fasis, sudah dikuburkan demokrasi. Namun, perjuangan demokrasi tidak pernah berjalan linier, selain diperluas (widening) dan diperdalam (deepening) dalam proses demokratisasi demokrasi, juga harus berhadapan dengan beragam varian gerakan otoriter/ totaliter yang berupaya memusnahkannya. Tak luput pula segala tantangan, totaliterisme kanan dan kiri, di aras nasional dan transnasional yang harus dihadapi demokrasi kita: Demokrasi Pancasila!

Enam arena konsolidasi

Juan J Linz dan Alfred Stephan dalam Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996: xiii) meneliti proses transisi dari rezim otoriter ke demokrasi, khususnya dinamika politik konsolidasi demokrasi pasca-otoriter/totaliter. Penelitian Linz dan Stephan hanya menganjurkan konsolidasi dalam lima arena konsolidasi demokrasi yang harus dikuasai kaum demokrat agar bisa menjaga dan menentukan arah demokrasi yang diperjuangkan, yaitu (1) masyarakat politik, (2) masyarakat ekonomi, (3) masyarakat sipil, (4) aparatus negara (birokrasi), dan (5) supremasi hukum (rule of law).

Bahkan, Samuel P Huntington meyakini apabila transisi demokrasi melalui dua kali pemilihan umum, maka konsolidasi demokrasi dapat terjadi (gelombang demokratisasi ketiga, 1995), dan demokrasi mapan setelah dua generasi seperti di Jerman dan Jepang.

Namun, 19 tahun pasca-revolusi demokrasi Mei 1998, proses transisi demokrasi Indonesia masih menghadapi bahaya gerakan otoriterisme/totaliterisme yang bersumber dari ideologi tandingan yang anti-Demokrasi Pancasila, dari kekuatan otoriter/totaliter politik, ekonomi, ideologi lama, bersinergi dengan kekuatan otoriter/totaliter politik, ekonomi dan ideologi transnasional baru. Yang terlupakan selama 19 tahun revolusi demokrasi Mei 1998, yang tak ditetapkan tegas oleh Linz, Stephan, dan Huntington berupa arena terpenting dalam konsolidasi demokrasi, yaitu arena ideologi demokrasi, mereka mengasumsikan ideologi demokrasi ada dan berjalan dengan adanya praktik demokrasi prosedural dalam lima (arena) yang disebutkan di atas.

Di Indonesia, arena ideologi berarti arena pemapanan ideologi Demokrasi Pancasila. Setiap arena adalah kontestasi, dalam arena ideologi yang terjadi adalah kontestasi ideologi Demokrasi Pancasila melawan ideologi otoriter/totaliter lama dan baru. Dengan demikian, seharusnya problem transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia terdiri atas enam arena, yaitu (1) ideologi (Demokrasi Pancasila), (2) masyarakat politik, (3) masyarakat ekonomi, (4) masyarakat sipil, (5) supremasi hukum (rule of law), dan (6) aparatur negara (birokrasi).

Nilai, pemilih, dan ”post-truth”

Pemilih (voters) adalah subyek terpenting dalam proses demokrasi, penubuhan semua nilai (values) Demokrasi Pancasila, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Keindonesiaan, Kerakyatan, Keadilan. Nilai Demokrasi Pancasila ini berlaku sebagai conditio sine qua non kehidupan demokrasi kita. Pemilih adalah pemilik kedaulatan rakyat, tanpa kecuali, apa pun suku, agama, ras, dan golongan. Di dalam pemilihan umum (presiden, legislatif, kepala daerah), pemilih dapat menjadi pahlawan demokrasi, tetapi dapat pula menjadi korban manipulasi.

Temuan survei wawancara tatap muka Pilkada Jakarta 19 April 2017 dari Litbang Kompas bahwa 34,3 persen pemilih memilih berdasarkan kesamaan agama dan hanya 22,9 persen berdasarkan program. Apakah demokrasi kita hari ini tidak lagi melihat seorang warga negara Indonesia berdasarkan nilai Demokrasi Pancasila serta penghargaan berdasarkan prestasi (meritokrasi)? Patut disyukuri alasan memilih karena karakter kejujuran dan bersih (dari suap/gratifikasi dan korupsi) tetap bernilai tinggi 46,2 persen.

Kemudian pesan (message) berupa informasi palsu, berita palsu, argumentasi palsu dijadikan strategi dan taktik kampanye ditambah ancaman, kebencian, dan ketakutan, maka pemilih menjadi korban yang dikorbankan. Si kandidat hanya berpegang pada prinsip menang-kalah, menghalalkan segala cara Machiavellistik (The Prince, 1997) ini tentu bertentangan dengan nilai Demokrasi Pancasila atau demokrasi berbasis nilai (value-centered democracy). Tentu penganut kepalsuan, siapa pun, dapat tega mengatakan misalnya Nelson Mandela atau Malala Yousafzai, para korban kebencian ras dan agama sebagai pelaku untuk memanipulasi pemilih atau publik.

Strategi dan taktik post-truth ini yang berkembang ke seluruh dunia pasca- Trump, ”A president who peddles falsehoods and dabbles in conspiracy confronts the challenge of governing in reality” (Time, 2017: 21), penjaja kepalsuan, kebencian dan konspirasi yang efek penggandaannya dibantu internet dan media sosial yang memasuki wilayah komunikasi antarpribadi, dan pemilih dengan media-literacy rendah segera terpapar (exposed).

Menjual jiwa kepada iblis Mephisto seperti Doktor Faust-nya Goethe untuk meraih kekuasaan. Kepalsuan dan kebencian menjadi kebenaran dalam dunia pasca-kebenaran. Korbannya adalah publik dan pemilih! Tentu juga kemanusiaan kita, serta nilai Demokrasi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Undangan Jokowi ke Rakernas PDI-P, Puan: Belum Terundang

Soal Undangan Jokowi ke Rakernas PDI-P, Puan: Belum Terundang

Nasional
Kata Kemenkes soal Gejala Covid-19 Varian KP.1 dan KP.2 yang Merebak di Singapura

Kata Kemenkes soal Gejala Covid-19 Varian KP.1 dan KP.2 yang Merebak di Singapura

Nasional
Dewas Sebut KPK Periode Sekarang Paling Tak Enak, Alex: Dari Dulu di Sini Enggak Enak

Dewas Sebut KPK Periode Sekarang Paling Tak Enak, Alex: Dari Dulu di Sini Enggak Enak

Nasional
MK Sebut 106 Sengketa Pileg 2024 Masuk ke Tahap Pembuktian Pekan Depan

MK Sebut 106 Sengketa Pileg 2024 Masuk ke Tahap Pembuktian Pekan Depan

Nasional
Ingatkan Tuntutan Masyarakat Semakin Tinggi, Jokowi: Ada Apa 'Dikit' Viralkan

Ingatkan Tuntutan Masyarakat Semakin Tinggi, Jokowi: Ada Apa "Dikit" Viralkan

Nasional
Komisi II Setuju Perbawaslu Pengawasan Pilkada 2024, Minta Awasi Netralitas Pj Kepala Daerah

Komisi II Setuju Perbawaslu Pengawasan Pilkada 2024, Minta Awasi Netralitas Pj Kepala Daerah

Nasional
Sri Mulyani Irit Bicara Soal Skema 'Student Loan' Imbas UKT Mahal

Sri Mulyani Irit Bicara Soal Skema "Student Loan" Imbas UKT Mahal

Nasional
Angka IMDI 2023 Meningkat, Indonesia Disebut Siap Hadapi Persaingan Digital

Angka IMDI 2023 Meningkat, Indonesia Disebut Siap Hadapi Persaingan Digital

Nasional
Kejagung Koordinasi dengan KIP soal Transparansi Informasi Publik

Kejagung Koordinasi dengan KIP soal Transparansi Informasi Publik

Nasional
Penerbangan Jemaah Bermasalah, Kemenag: Performa Garuda Buruk

Penerbangan Jemaah Bermasalah, Kemenag: Performa Garuda Buruk

Nasional
Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Khawatir atas Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura

Kemenkes Minta Masyarakat Tidak Khawatir atas Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura

Nasional
Kasus Simulator SIM, Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi

Kasus Simulator SIM, Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi

Nasional
Bobby Berpeluang Diusung Gerindra pada Pilkada Sumut Setelah Jadi Kader

Bobby Berpeluang Diusung Gerindra pada Pilkada Sumut Setelah Jadi Kader

Nasional
Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Nasional
Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com