JAKARTA, KOMPAS.com - Generasi milenial umumnya dipandang sebagai individu-individu kreatif. Mereka banyak mengabdikan diri menjadi seniman, pegiat media sosial, bahkan aktivis.
Namun, diakui masih sedikit yang berpandangan terbuka akan kondisi politik kekinian dan mengkritisi apa yang terjadi di negara ini.
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie mengatakan, berbagai survei masih memperlihatkan kecilnya angka minat pemuda pada politik.
"Bagi anak muda, politik seperti sesuatu yang jauh di luar planet bumi," ujar Grace dalam peluncuran buku "Curhat Perempuan" di Jakarta, Senin (17/4/2017).
Grace mendorong agar generasi muda lebih peduli dengan kondisi politik dan tak hanya sekadar mengkritik, namun membuat gagasan untuk mendorong perubahan.
(Baca: Sosok yang Jadi Pilihan Generasi Milenial di Pilkada DKI...)
Salah satu alasan kurangnya minat tersebut yakni kemalasan membaca dan mendalami sejarah.
Aktivis sosial Hamid Basyaib mengatakan, banyak pemuda yang terbiasa membaca 140 karakter di Twitter.
Ketika diminta membaca buku, mereka merasa itu satu hal yang berat.
"Sekarang membaca jadi barang mewah," kata Hamid.
Namun, Hamid melihat karakter berbeda pada Tsamara Amany, penulis buku "Curhat Perempuan".
Menurut dia, Tsamara mampu lepas dari stigma anak muda zaman sekarang yang lebih gemar menggeluti media sosial ketimbang buku sejarah.
(Baca: Ada "Serba Pantang" di Imlek, Apa Kata Generasi Milenial Tionghoa?)
Dalam buku yang ditulisnya, Tsamara menuliskan argumentasinya soal situasi politik. Tanpa ragu ia juga melontarkan kritiknya ke tokoh tertentu.
"Dia jelas mengumumkan bukan sebagai pengamat, tapi sebagai pelaku. Dia memperlihatkan sebagai pelaku perubahan," kata Hamid.