JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah sepakat dengan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan kewenangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mencabut peraturan daerah (perda).
Menurut Fahri, putusan MK dengan nomor perkara 137/PUU-XIII/2015 itu telah mengembalikan marwah DPRD selaku lembaga yang berisikan para wakil rakyat di daerah. Sebab, perda dibuat oleh DPRD bersama pemerintah daerah.
"Saya setuju itu. Sekarang ini DPRD itu seolah berada di bawah Mendagri. Sementara DPRD itu dipilih oleh rakyat dan Mendagri itu dipilih oleh Presiden. Tapi kekuatan rakyat di situ seperti dihempaskan begitu saja," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (7/4/2017).
Ia menyatakan, semestinya pemerintah tidak perlu mengkhawatirkan munculnya perda yang menghambat investasi.
Sebab, pemerintah bisa menguji materi perda yang dinilai menghambat investasi ke Mahkamah Agung (MA). Apalagi, lanjut Fahri, saat ini Indonesia telah memberlakukan otonomi daerah.
Sikap Mendagri yang langsung mencabut perda dinilai tidak adil karena lebih mengedepankan subyektivitas pemerintah pusat ketimbang aspirasi masyarakat daerah.
"Kalau ada produk perundangan di bawah itu ya diuji materi aja dong. Biasakan begitu. Enggak boleh kita dalam bernegara itu praktis. Negara itu ada prosedur, prosedurnya yang kita percepat bukan prosedurnya kita tabrak," tutur Fahri.
"Kelakuan Mendagri itu prosedurnya yang ditabrak. Mau enaknya saja. Mau menertibkan daerah dengan menggunakan tangan besi. Cabut-cabut saja. Bahas perda itu mahal lho. Menyerap aspirasi. Ini main cabut-cabut saja," kata dia.
(Baca: MK Putuskan Mendagri Tak Bisa Lagi Cabut Perda)
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya menyayangkan putusan MK yang mencabut kewenangannya sebagai Mendagri untuk mencabut perda.
"Saya sebagai Mendagri jujur tidak habis pikir dengan putusan MK yang mencabut kewenangan Mendagri membatalkan Perda yang jelas-jelas menghambat investasi," kata Tjahjo, Kamis (6/4/2017).
(Baca: Tjahjo Tak Habis Pikir MK Cabut Kewenangan Mendagri Batalkan Perda)
Tjahjo menuturkan, pembatalan perda merupakan domain eksekutif. Perda, kata Tjahjo, merupakan produk dari pemerintah daerah antara kepala daerah dengan DPRD.
Menurut Tjahjo, penghilangan kewenangannya dalam mencabut Perda akan berimplikasi pada program pemerintah. Di antaranya, program deregulasi untuk investasi secara terpadu antara pemerintah pusat dan daerah akan terhambat.