Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejumlah Keluh Kesah soal Kebebasan Beribadah...

Kompas.com - 17/03/2017, 08:31 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah daerah disebut memiliki andil terkait maraknya kasus pelanggaran atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di sejumlah daerah.

Juru Bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana mengatakan, dalam dua tahun belakangan terdapat sebelas kasus penutupan masjid Ahmadiyah. Sebagian besar penutupan masjid justru diinisiasi oleh pemerintah daerah.

"Kalau dulu dilakukan oleh ormas agama, sekarang justru pemda yang melakukan penutupan masjid kami. Padahal mesjid kami punya IMB. SKB (Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri) pun tidak melarang kegiatan Ahmadiyah," ujar Yendra saat berbicara di di Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Kamis (16/3/2017).

Selain penutupan rumah ibadah, pelanggaran atas hak sipil juga dialami oleh 116 jemaah Ahmadiyah yang berada di Permukiman Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Mereka adalah jemaah Ahmadiyah yang bermukim di Ketapang, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, korban perusakan dan pembakaran rumah pada awal 2006.

Sampai saat ini, kata Yendra, pemerintah belum merealisasikan kebijakan yang berpihak pada mereka. Sementara selama di pengungsian, warga Ahmadiyah tidak memiliki akses terhadap kesehatan yang memadai.

"Padahal akhirnya kami mengalah, kami sudah menyatakan siap untuk direlokasi," ucapnya.

Persoalan lain dialami warga Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat. Sebanyak 1.600 orang belum memiliki KTP oleh pemerintah daerah.

Akibatnya mereka sulit mengakses layanan publik dan pernikahan mereka tidak bisa dicatatkan.

"Seharusnya Presiden Joko Widodo bertemu dengan kelompok minoritas seperti kami sebagai simbol bahwa Presiden Jokowi adalah presiden bagi semua golongan," kata Yendra.

(Baca: Jemaah Ahmadiyah: Kami Belum Sepenuhnya Merdeka)

Lain Ahmadiyah, lain pula kekerasan yang dialami oleh warga eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Agus Setiawan, juru bicara Gafatar, mengatakan bahwa pasca-pengusiran warga eks Gafatar dari Mempawah pada awal 2016 lalu, Pemda Kalimantan Barat tidak mau menerima kembali warga eks Gafatar yang ingin tinggal di sana.

Permintaan dialog dengan pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pernah mengeluarkan fatwa haram dan aparat pemerintah tidak pernah digubris.

"Fatwa MUI pusat dan SKB Tiga Menteri yang menjadi alasan Pemda Kalbar," tutur Agus.

(Baca juga: Pelarangan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Sepanjang 2016 Meningkat)

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com