JAKARTA, KOMPAS.com — Maria Katarina Sumarsih menolak rencana pemerintah yang akan menempuh jalur rekonsiliasi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Sumarsih adalah ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan (Wawan), mahasiswa Unika Atma Jaya Jakarta, yang menjadi salah satu korban penembakan aparat saat demonstrasi mahasiswa pada 13 November 1998.
Peristiwa itu kemudian dikenal dengan Tragedi Semanggi I.
"Kalau pertanyaannya pantaskah melalui rekonsiliasi? Tentu tidak pantas. Alasannya, penyelesaian secara rekonsiliasi bertentangan dengan konstitusi," kata Sumarsih dalam diskusi di Setara Institute, Jakarta, Jumat (10/2/2017).
Sumarsih mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, memang ada dua cara penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Yang pertama adalah dengan pengadilan HAM ad hoc yang selama ini diperjuangkannya. Kedua, dengan rekonsiliasi.
Namun, rekonsiliasi baru bisa ditempuh dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk melalui UU.
"Sementara itu, UU KKR sendiri sudah dibatalkan MK," ucap Sumarsih.
(Baca juga: Rekonsiliasi Kasus Trisakti-Semanggi Dinilai Tak Sesuai Asas Keadilan)
Oleh karena itu, Sumarsih menekankan bahwa seharusnya kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Semanggi I, harus diselesaikan lewat pengadilan HAM ad hoc.
Mekanismenya, pertama-tama Komnas HAM melakukan penyidikan. Kejaksaan Agung lalu menindaklanjuti penyidikan tersebut.
Apabila terbukti ada pelanggaran HAM berat, maka DPR mengeluarkan surat ke Presiden agar dibuat pengadilan HAM ad hoc.
"Sampai sekarang saya tidak akan berhenti untuk menuntut keadilan atas penembakan anak saya dan teman-temannya," ucap Sumarsih.
(Baca juga: Polemik Rencana Rekonsiliasi Kasus Trisakti-Semanggi)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.