Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/01/2017, 09:04 WIB
Fachri Fachrudin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar, pada Rabu (25/1/2017) lalu boleh menjadi pukulan telak bagi Mahkamah Konstitusi (MK). Penangkapan tersebut hanya berselang beberapa jam setelah MK memutus perkara uji materi yang terkait dengan pidana korupsi.

Istilah pukulan telak biasanya dipakai untuk menggambarkan bagaimana seorang petinju berhasil melayangkan pukulan tepat dibagian rahang lawannya.  Dalam teknik bertinju, pukulan uppercut ke bagian rahang kerap menjadi andalan petinju untuk menjatuhkan lawan. Sebab, area sekitar telinga itulah menjadi titik keseimbangan seseorang.

Kembali ke KPK versus MK, dalam sidang putusan yang digelar MK Rabu siang itu, MK memutuskan bahwa kata "dapat" dalam pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dihapuskan.

Dengan demikian, pada pasal 2 UU Tipikor, kalimat yang sedianya berbunyi, “(ayat 1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)” berubah menjadi, "...memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau...".

Begitu pun dalam pasal 3 UU Tipikor. Dihilangkannya kata "dapat" pada kedua pasal tersebut menjadikan delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah makna menjadi delik materiil.

Perubahan delik formil ke materiil ini akan semakin menyulitkan KPK dalam menangani kasus. Sebab, unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata atau pasti.

Atau dengan kata lain, unsur merugikan keuangan negara dalam kasus korupsi tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami bahwa benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss).

Menurut Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, wajar jika KPK langsung bereaksi setelah MK mengeluarkan putusan tersebut. Menurut Boeyamin, penangkapan Patrialis menjadi semacam peringatan bahwa KPK tidak main-main dalam memberantas korupsi.

"Saya memahaminya, KPK memang ingin menunjukkan dirinya. Disaat KPK ingin diamputasi malah menunjukkan taringnya," ujar Boeyamin saat dihubungi Sabtu (28/1/2017).

Boeyamin menyarankan agar Dewan Etik MK melakukan penyelidikan atas putusan uji materi perkara 25/PUU-XIV/2016 tersebut. Penyelidikan itu guna membuktikan tidak adanya unsur kepentingan tertentu dalam pengambilan keputusan.

Sebab, dalam putusan tersebut terjadi dissenting opinions atau pendapat berbeda dari empat hakim konstitusi, yakni I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Aswanto, dan Maria Farida Indrati. Keempat hakim konstitusi tersebut menilai bahwa Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan Mahkamah seharusnya menolak permohonan pemohon.

Oleh karena itu, menurut Boeyamin, Dewan Etik harus kembali melihat perjalanan uji materi UU Tipikor tersebut.

"Nah salah satu yang tidak dissenting itu Pak Patrialis. Dewan etik harus periksa hakim-hakim ini. Penyusunan keputusan uji materi UU korupsi itu seperti apa. Sejak proses pertama kali disidangkan harus dilacak, yakinkan tidak ada 'lubang' (celah kepentingan) nya," kata Boeyamin.

Kualitas HAKIm MK Kini Berbeda

Mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki menilai, ada perbedaan kualitas antara MK saat ini dengan saat dipimpin Jimly Asshiddiqie maupun Mahfud MD. Menurut Suparman, atmosfer akademik pada era Jimly dan Mahfud sangat kuat. Para hakim juga dituntut untuk menulis buku.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com