JAKARTA, KOMPAS.com - Sepanjang 2016, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) disebut kerap mengambil kebijakan yang "suka-suka". Salah satunya berkaitan dengan penempatan kursi pimpinan.
Hal itu disampaikan Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) saat merilis hasil refleksi akhir tahun 2016.
Peneliti Formappi, I Made Leo Wiratma menyebutkan, pada awal tahun 2016, Ketua DPR berganti dari Setya Novanto ke Ade Komarudin akibat Setya Novanto mengundurkan diri.
(baca: DPR dan Gaduhnya Pembahasan Rancangan Undang-Undang...)
Namun, pada akhir November, Novanto kembali mengambil alih jabatan tersebut dari Ade.
"Hanya dalam waktu setahun, pergantian Ketua DPR terjadi dua kali dan hanya menyangkut dua nama pula, yakni Setya Novanto dan Ade Komarudin," kata Made Leo di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Timur, Kamis (22/12/2016).
Hal itu, kata Made Leo, merupakan catatan baru dalam sejarah parlemen Indonesia sejak orde baru hingga era reformasi.
(baca: "DPR Tambah Kursi Pimpinan, Tak Ada Pengaruhnya untuk Rakyat")
Kembalinya seseorang yang telah mengundurkan diri dari jabatannya memang tak menyalahi prosedur atau peraturan perundang-undangan apapun.
Namun ia berpendapat, secara fatsun politik, jika seseorang mengundurkan diri dari jabatan publik mestinya secara moral tidak mungkin kembali ke jabatan asalnya.
"Peristiwa kembalinya Setya Novanto menduduki jabatan Ketua DPR menyiratkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai rasa malu dan oportunis serta menganggap jabatan publik dapat dipermainkan semaunya," tuturnya.
Formappi juga menilai bahwa perbuatan "suka-suka" tak hanya ditunjukkan dalam penempatan kursi Ketua DPR RI, tapi juga saat mengambil kebijakan.
(baca: Kurang dari Tiga Jam, Baleg DPR Selesaikan Pembahasan Revisi UU MD3)
Made Leo menuturkan, saat menjabat pertama kalinya, Novanto membuat tradisi dimana dalam setiap pembukaan masa sidang, DPR selalu menyampaikan rencana yang hendak dilakukan ke depan dan menjelaskan capaian-capaian DPR pada penutupan masa sidang.
Namun, hal itu tak lagi dilakukan saat jabatan Ketua DPR ditempati Ade Komarudin. Alih-alih melanjutkan, Ade justru mengambil kebijakan baru.