Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman dan Peluang untuk Profesor

Kompas.com - 23/08/2016, 11:03 WIB

Oleh: Syamsul Rizal

Saya melihat ada dua fakta yang mengancam dan menekan profesor di Indonesia akhir-akhir ini. Ancaman pertama terkait dengan Permenristek dan Dikti No 50/2015 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran PTN dan Pendirian, Perubahan dan Pencabutan PTS.

Pada Permenristek dan Dikti ini disebutkan, setiap program studi (prodi) doktor dan doktor terapan yang akan dibuka harus memiliki paling sedikit enam dosen yang berijazah doktor. Dua di antaranya harus memiliki jabatan akademik profesor.

Dua profesor ini masing-masing harus memiliki dua karya ilmiah yang telah dipublikasi pada jurnal internasional dan empat doktor lainnya masing-masing harus punya satu publikasi internasional.

Saya menilai Permenristek dan Dikti ini cukup menekan para profesor. Karena kalau dalam sebuah prodi tidak ada dua profesor ”produktif” yang masing-masing tak pernah memublikasikan karya mereka di jurnal internasional semasa hidupnya, maka prodi doktor akan gagal dibuka, atau terancam ditutup kalau sudah telanjur berdiri.

Ancaman kedua diberikan Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kemristek dan Dikti, Ali Ghufron Mukti (Kompas.com, 19 April 2016), yaitu profesor yang tidak produktif dapat dikenai sanksi berupa pemotongan tunjangan kehormatan.

Menurut Ali Ghufron, sesuai gelar tertinggi yang dimilikinya, seorang profesor semestinya memiliki tanggung jawab untuk aktif dalam memajukan perguruan tinggi.

Gelar tertinggi ini harus diikuti produktivitas yang tinggi pula dalam menghasilkan inovasi dan menerbitkan karya tulis di jurnal-jurnal yang memiliki reputasi internasional sehingga membuat perguruan tingginya berstatus internasional.

Ancaman ini tentu saja masuk akal. Sebab, kalau tidak ada ancaman ini, semua profesor di Indonesia (berjumlah 5.109 orang) berhak tidur semuanya dan tidak melakukan apa pun kecuali tugas pokok mengajar saja.

Sampai sekarang seakan-akan mengejar jabatan fungsional profesor merupakan upaya untuk mencapai terminal terakhir.

Setelah terminal terakhir tercapai, tercapailah semuanya sampai umur 70 tahun sambil ongkang- ongkang kaki alias tidak berbuat apa pun.

Ini tentu saja akan merugikan negara. Sebab, dengan kenaikan jabatan dan gaji, tanggung jawab dan produktivitas seharusnya meningkat.

Apalagi usia pensiun profesor sudah ditetapkan menjadi 70 tahun, maka dapat dikatakan bahwa menjadi profesor merupakan suatu berkah yang tiada tara.

Di tengah kesulitan negara kita secara ekonomi, tentu saja tidak fair membandingkan gaji profesor di Indonesia dengan negara-negara maju di Eropa atau di benua lain.

Ini berarti, apabila seorang profesor tak mampu menghasilkan karya tulis di jurnal internasional sampai dengan akhir 2017, menurut Ali Ghufron, gaji profesor yang semula sekitar Rp 22 juta itu akan berpotensi dipotong tunjangan kehormatannya sekitar Rp 10,5 juta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Nasional
Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Nasional
Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Nasional
PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

Nasional
Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

Nasional
Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

Nasional
Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

Nasional
PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

Nasional
Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

Nasional
KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

Nasional
Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

Nasional
KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

Nasional
KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com