Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

1 Juni dan 1 Oktober untuk Pancasila

Kompas.com - 01/06/2016, 06:06 WIB

Oleh: Ashadi Siregar

Dua tanggal almanak biasa dikaitkan dengan Pancasila, 1 Juni sebagai hari lahirnya dan 1 Oktober penanda kesaktiannya. Hari lahir itu selama Orde Baru secara sistematis dicoba-hilangkan dari memori bangsa. Dan sepanjang era itu, setiap 1 Oktober dipasang bendera setengah tiang. Rezim Orde Baru menyebut sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Mungkin tidak ada yang mempersoalkan bagaimana kaitan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di satu pihak dan kesaktian Pancasila di pihak lain. Menjadikan 1 Oktober sebagai hari perkabungan nasional akibat terbunuhnya sejumlah perwira TNI tentunya didukung alasan yang kuat. Setiap bangsa perlu memiliki momen-momen yang dapat dimaknai untuk menumbuhkan kesadaran atas identitas dan solidaritas bangsa.

Namun, menjadikannya sebagai momen guna mengagungkan Pancasila atas dasar kesaktiannya merupakan pembodohan rakyat. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ditandai dengan menumbuhkan kesadaran rasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bung Karno sebagai pemikir dan pencetus dasar negara ini mendekati Pancasila secara rasional. Pidato 1 Juni 1945 berisi rasionalisasi yang dilengkapi referensi konseptual atas Pancasila sebagai dasar negara. Sementara Jenderal Soeharto mengajak rakyat mendekati Pancasila secara mistis. Terminologi kesaktian hanya dapat dihayati dengan kesadaran mistis, tidak atas dasar rasionalisme.

Pendekatan konseptual Bung Karno tecermin dalam tulisan- tulisan otentik pribadi dan pidato tertulis dan lisannya sebelum dan sewaktu menjadi presiden. Sementara kecenderungan pemikiran Jenderal Soeharto tidak dapat diketahui dari masa sebelum menjabat presiden.

Pendekatan konseptual terkandung dalam pidato tertulis (yang disiapkan Sekretariat Negara) dan dibacakan Jenderal Soeharto dengan cara datar dan dingin. Sedangkan kecenderungan otentik personal tecermin saat pidato lisan maupun penampilan dalam temu wicara dengan kelompok-kelompok masyarakat yang disiapkan aparat birokrasi negara.

Dalam setiap kesempatan itu ujaran-ujaran lisan pendekatan mistis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara disosialisasikan kepada rakyat.

Mistifikasi kehidupan bernegara

Pancasila sebagai dasar negara perlu didekati dengan kesadaran rasional, dengan kembali kepada gagasan dasar yang dikembangkan Bung Karno. Perlu dibongkar ulang rekayasa intelektual dijalankan oleh Angkatan Darat yang dimotori almarhum Jenderal Nugroho Notosusanto untuk meniadakan faktor Soekarno melalui penataran Pancasila.

Terdapat dua arus besar sosialisasi Pancasila selama Orde Baru. Pertama, secara struktural diwujudkan dengan gaya doktriner melalui perumusan butir-butir yang jumlahnya disesuaikan dengan level target dari indoktrinasi. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diselenggarakan secara luas pada berbagai lapis masyarakat bersifat doktriner, jauh dari nilai dasar berbangsa dan bernegara sebagaimana diharapkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945.

Kedua, secara simbolik, melalui berbagai wacana yang bersifat mistifikasi Pancasila. Di antaranya dengan hari berkabung atas terbunuhnya perwira TNI, dengan ritual untuk menghayati kesaktian Pancasila. Kehikmatan beraroma mistis di monumen Lubang Buaya ini dalam konteks kenegaraan menjauhkan masyarakat dari penghayatan rasional kehidupan bernegara. Upaya peyakinan terus-menerus sepanjang Orde Baru tentang hancurnya kekuatan anti Pancasila berkat kesaktian Pancasila.

Kehidupan bernegara dengan basis keyakinan mistis merupakan bencana bagi suatu bangsa negara modern. Jika aparat birokrasi negara, militer, polisi, bahkan elite masyarakat juga menghayati keyakinan mistis semacam ini, kiranya hanya dapat dibayangkan untuk kehidupan bernegara abad ke-16. Sulit membayangkan masa depan negarapada abad ke-21 dengan basis budaya negara yang dibangun selama 30 tahun oleh Orde Baru.

Karena itu, langkah mendesak adalah demistifikasi atas Pancasila. Termasuk juga meniadakan konteks mistis dalam kehidupan kenegaraan. Ritual ”ruwatan”, misalnya, memiliki signifikansi bagi kehidupan keluarga, tetapi sama sekali tidak punya makna bagi negara.

Presiden RI bukan kepala keluarga, melainkan kepala negara. Negara merupakan sistem yang terdiri dari komponen-komponen politis, sosiologis, dan ekonomis yang integrasinya atas dasar kepentingan rasional yang bertolak dari acuan nilai bersama (shared value). Karena kepercayaan bahwa kehidupan bernegara dapat ditata atas dasar mistis, hanya akan menjerumuskan kita ke dalam Orde Baru Kedua.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Jokowi Sebut Penyusunan Kabinet Mendatang Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Temui Warga Aceh Usai Pilpres, Cak Imin Janji Lanjutkan Perjuangan

Nasional
Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Timnas Akan Hadapi Guinea untuk Bisa Lolos ke Olimpiade, Jokowi: Optimistis Menang

Nasional
KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Sebut Penyidik Bisa Jemput Paksa Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

TNI AD Mulai Tanam Padi di Merauke, KSAD: Selama Ini Hasilnya Kurang Baik

Nasional
KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

KPK Mengaku Bisa Tangkap Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Kapan Saja

Nasional
Abaikan PDI-P, MPR: Tak Ada Alasan untuk Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Abaikan PDI-P, MPR: Tak Ada Alasan untuk Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Nasional
Pemerintah Tegaskan Tak Ragu Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

Pemerintah Tegaskan Tak Ragu Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
Tangani ODGJ di Sumba Timur, Mensos Risma Minta Pemda dan Puskesmas Lakukan Ini

Tangani ODGJ di Sumba Timur, Mensos Risma Minta Pemda dan Puskesmas Lakukan Ini

Nasional
Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club', Jokowi Usul Pertemuannya Dua Hari Sekali

Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club", Jokowi Usul Pertemuannya Dua Hari Sekali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com