JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menilai pemerintah memerlukan road map penegakan hukum yang jelas.
Jimly mengatakan, pemerintah tak bisa selamanya berharap pada hukuman mati untuk menekan tindak kejahatan. Ini termasuk dalam penanganan tindak pidana narkotika.
Sebab, jumlah kasus kejahatan narkotika tetap meningkat pasca-adanya eksekusi mati gelombang pertama dan kedua pada 2015.
"Pemerintah boleh saja menggunakan hukuman mati dalam menindak kejahatan narkoba, tapi kan tidak bisa selamanya seperti itu," kata Jimly, di Gedung MK, Jakarta, Selasa (31/5/2016).
"Hukuman mati itu berguna untuk mengumpulkan kemarahan publik, supaya publik semakin aware," ucapnya.
Menurut Jimly, setelah adanya kemarahan publik, maka pemerintah pun harus memikirkan langkah selanjutnya supaya tindak kejahatan narkotika bisa ditekan.
"Kalau sekadar mengumpulkan amarah publik ya masalah tidak selesai, makanya hukuman mati hanya relevan untuk lima sampai sepuluh tahun ke depan," kata dia.
"Berikutnya ya pikirkan model hukuman efektif yang bisa benar-benar menekan tindak kejahatan narkoba, tentu di luar sistem lembaga pemasyarakatan sekarang yang juga terbukti belum mampu menekan tindak kejahatan narkoba," lanjut Jimly.
Dia pun menambahkan hukuman mati masih relevan dilakukan untuk lima hingga sepuluh tahun ke depan di beberapa kasus kejahatan. Misalnya, kekerasan seksual, terorisme, korupsi, dan narkotika.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sebelumnya mengungkapkan, eksekusi terpidana mati diprioritaskan terhadap terpidana kasus narkoba. (Baca: Jaksa Agung Pastikan Eksekusi Mati Bandar Narkoba Masih Terbuka)
Ia memastikan Kejaksaan Agung sangat berhati-hati saat memutuskan pelaksanaan eksekusinya.
Seluruh terpidana mati yang akan dieksekusi adalah mereka yang telah menggunakan semua hak hukum khususnya pengajuan peninjauan kembali.
Eksekusi terpidana mati juga tidak akan dilakukan jika membuat gaduh dan mengganggu upaya pemerintah.