JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena prestasi, melainkan lantaran ada oknum-oknum pejabatnya yang diduga terlibat kasus korupsi.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai, pejabat MA yang terbukti terlibat kasus korupsi pantas dihukum lebih berat.
"Kalau ada masalah-masalah ya sama dengan MK (Mahkamah Konstitusi), hukuman untuk hakim (MA) yang berbuat salah lebih tinggi daripada yang lainnya," kata Kalla, Jakarta, Jumat (22/4/2016).
Menurut Wapres, MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman merupakan benteng pertahanan terakhir penegakan hukum di Indonesia.
Bila para pejabat MA tidak bebas dari korupsi, maka kepercayaan masyarakat terhadap hukum bisa menurun.
Bagi Kalla, MA sama halnya dengan MK. Dalam kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar misalnya, majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, menjatuhi hukuman penjara seumur hidup kepada Akil Mochtar.
Akil dinilai bersalah dalam beberapa kasus seperti pengurusan pilkada di Mahkamah Konstitusi, gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Sama juga di MA, kalau dia berbuat itu pasti hukumannya akan lebih tinggi karena dia justru penjaga terakhir daripada hukum itu," kata Kalla.
Meski begitu, Wapres tidak mau mencampuri urusan penegakan hukum. Menurut Kalla, hal itu menjadi kewenangan para penegak hukum.
Ia sendiri berharap agar MA tetap mampu menjaga kepercayaan sebagai benteng pertahanan terakhir penegakan hukum di Indonesia. Serta, tetap menjaga kepercayaan sesuai dengan nama lembaga yang disematkan kepadanya.
"Karena itu namanya "Agung" kan. Jadi kalau tidak bersih tentu tidak agung. Harus betul-betul diyakinkan bahwa lembaga itu lembaga MA peradilan yang bersih dan adil," ucap Wapres.
Sebelumnya, KPK mengirimkan surat pencegahan bepergian ke luar negeri kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Pencegahan ke luar negeri tersebut disampaikan atas nama Nurhadi (NHD), yang menjabat sebagai Sekretaris Mahkamah Agung. (Baca: Sekretaris MA Nurhadi Dicegah ke Luar Negeri)
Hal itu terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji yang diduga terkait dengan pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.