Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selain ke Korban 1965, Pemerintah Juga Diminta Rehabilitasi Nama Soekarno

Kompas.com - 18/04/2016, 18:03 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo harus segera mencabut segala bentuk peraturan yang menimbulkan stigma dan diskriminasi terhadap korban tragedi 1965.

Selain itu, ia juga meminta Pemerintah melakukan upaya rehabilitasi kepada korban dan yang terpenting rehabilitasi terhadap nama Proklamator RI Soekarno.

"Sebaiknya Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres (Keputusan Presiden) mengenai rehabilitasi atas Presiden Soekarno dan korban G30S," ujar Asvi saat menjadi panelis pada Simposium Nasional "Membedah Tragedi 1965" di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016).

Asvi menjelaskan, pascaterjadinya peristiwa G 30 S, tidak hanya orang-orang yang dicap sebagai simpatisan PKI saja yang mengalami tindakan diskriminasi. Presiden Soekarno pun mengalami hal yang serupa. (baca: Luhut: Mari Berdamai dengan Masa Lalu)

Menurut Asvi, Tap MPRS/XXIII/1967 dan Tap MPR No. 1 tahun 2003 memuat tuduhan bahwa Soekarno terlibat dalam peristiwa G30S. Akibatnya, Soekarno tidak boleh lagi berpolitik.

Bila Soekarno ingin melakukan perjalanan, misalnya dari Bogor ke Jakarta, maka ia harus minta izin ke Pangdam yang ada di Bogor dan Pangdam Jaya.

(baca: Soal Peristiwa 1965, Sintong Tantang Buktikan jika Korban di Jateng 100.000 Orang)

Dan yang paling menyedihkan, kata Asvi, akibat peraturan tersebut, Soekarno harus menjalani masa tahanan rumah di wisma Yaso sampai akhirnya Soekarno meninggal dunia.

"Segala stigma dan diskriminasi terkait peristiwa 1965 dalam bentuk peraturan atau apapun, harus dicabut pemerintah. Korban tragedi 1965 harus direhabilitasi, begitu juga dengan nama Soekarno," kata Asvi.

Selain itu, Asvi menambahkan, Presiden Jokowi perlu meminta maaf atas kekeliruan yang dilakukan negara pascatragedi 1965.

Permintaan maaf itu, menurut dia, tak bisa diwakilkan oleh siapapun. (baca: Asvi Warman: Presiden Harus Minta Maaf atas Kasus Pasca-1965)

Sementara itu, dalam pembukaan Simposium, Luhut menegaskan bahwa Pemerintah tidak berencana meminta maaf terkait kasus peristiwa kekerasan 1965.

(baca: Soal Peristiwa 1965, Luhut Tegaskan Pemerintah Tak Akan Minta Maaf)

"Kami tidak sebodoh itu. Jangan ada pikiran Pemerintah akan minta maaf ke sana atau ke sini. Kami tahu apa yang kami lakukan yang terbaik untuk bangsa ini," ujar Luhut.

Simposium nasional tersebut diprakarsai oleh oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Forum Solidaritas Anak Bangsa (FSAB), dan didukung oleh Luhut.

Rencananya, Simposium Nasional dirancang sebagai dialog awal antara pemerintah dan korban untuk merumuskan pokok pikiran menuju rekonsiliasi nasional.

Kompas TV Tragedi 65, Luhut: Tak Terpikir untuk Minta Maaf
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 23 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 23 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com