Munculnya surat Menteri Perhubungan yang tersebut menegaskan bahwa regulator menganggap transportasi berbasis aplikasi adalah ilegal yang disertai dengan dasar-dasar hukumnya.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan belum memfasilitasi pengaturan transportasi berbasis aplikasi.
Meski demikian, kehadiran transportasi berbasis aplikasi ini diperlukan masyarakat mengingat sistem transportasi Indonesia yang masih belum optimal berbenah diri.
(Baca: Ahok Takut Perusahaan Taksi yang Bayar Pajak Bangkrut gara-gara Taksi "Online")
Menurut peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, peristiwa ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk melihat lebih dalam lagi untuk serius membenahi kerangka hukum untuk memfasilitasi transportasi berbasis aplikasi sehingga kontroversi semacam ini tidak terulang kembali.
"Pemerintah seharusnya mengatur Transporasi Berbasis aplikasi, bukan malah memblokir dan melarang," ujar Faiz melalui keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Selasa (15/3/2016).
Lebih lanjut, dia mengatakan, inisiatif yang dilakukan di Negara Bagian California (Amerika Serikat), Negara Bagian New South Wales (Australia), Kota Canberra (Australia), Edmonton (Kanada), dan Malaysia dalam mengakomodir pengaturan tranportasi berbasis aplikasi perlu menjadi perhatian dan contoh oleh Indonesia.
(Baca: Untung dan Rugi Keberadaan Layanan Transportasi Berbasis Aplikasi)
Mengingat kebutuhan masyarakat akan sistem transportasi publik yang baik, Faiz mendorong pemerintah untuk tidak memblokir layanan Grab dan Uber karena keberadaan keduanya diperlukan masyarakat.
Ia juga meminta pemerintah tidak memblokir atau melarang transportasi berbasis aplikasi, namun membuat kerangka pengaturan yang dapat mengikat perusahaan aplikasi transportasi, penyedia jasa angkutan penggunan aplikasi dan konsumen.
(Baca: Jokowi Ingin Ada Jalan Tengah soal Polemik Taksi "Online")
Selain itu, dia juga melihat pentingnya merevisi UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan dan memasukkan pengaturan transportasi publik berbasis aplikasi dalam UU dan PP tersebut.
Sebelumnya, kontroversi juga terjadi atas dikeluarkannya Surat Menteri Perhubungan No. UM.302/1/21/Phb/2015 tanggal 9 November 2015 yang dilayangkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia Perihal kendaraan pribadi yang digunakan untuk mengangkut orang dan/atau barang dengan memungut bayaran.
Surat pertama ini kemudian dicabut atas desakan masyarakat dan Presiden Joko Widodo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.