Usulan revisi itu terkait kewenangan penegak hukum menempatkan seseorang yang diduga pelaku terorisme pada suatu tempat selama enam bulan.
Ketentuan ini dinilai berpotensi menciptakan ketakutan di masyarakat.
"Pemerintah jangan sampai berkontribusi atas munculnya lingkaran ketakutan masyarakat karena respons agresif penegak hukum terhadap ancaman teroris yang mengarah kepada pelanggaran aturan dan sistem keamanan yang berlaku," ujar Harits kepada Kompas.com, Selasa (8/3/2016).
Poin revisi itu, menurut Harits, terkesan ingin memberikan kewenangan lebih luas kepada aparat penegak hukum.
Namun, wewenang tersebut berpotensi menciptakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.
"Tindakan terorisme harus dicegah dan dihilangkan, semua sepakat. Tapi bukan berarti karena alasan klise terorisme adalah extraordinary crime sehingga dengan longgar membuat UU yang melegitimasi tindakan represif," ujar Harits.
Belajar dari pengalaman 10 tahun terakhir, lebih dari 40 orang menjadi korban salah tangkap dan lebih dari 120 orang meninggal dunia di luar proses peradilan.
Ada pula mereka yang mengalami penyiksaan selama penyidikan.
Oleh karena itu, Harits meminta agar pembahasan di DPR dilakukan dengan hati-hati dan melihat secara jernih persoalan ini.
"Perlu berbagaai masukan dari masyarakat dan perspektif yang lebih luas agar produk UU tak kontraproduktif. Alih-alih menyelesaikan isu terorisme tapi justru melahirkan state terorism karena tidak proporsional dalam menghadapi isu terorisme itu sendiri," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.