Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mainstreaming Hak Asasi Manusia

Kompas.com - 19/02/2016, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Pada suatu hari, Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat sedang berjalan. Tiba-tiba ada jenazah umat Yahudi yang sedang diusung untuk dikuburkan. Nabi langsung berhenti, menghormati jenazah tersebut.

Para sahabat bertanya, “kenapa Nabi berhenti saat melihat jenazah umat Yahudi?”. Nabi tersenyum sembari menjawab, “Bukankah jenazah umat Yahudi juga manusia?”

Itulah akhlak yang diajarkan oleh Nabi perihal menyikapi umat yang berbeda agama dengan kita. Nabi adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan.

Sejak pulang dari Kairo pada tahun 2000-an, saya langsung aktif di lingkungan Nahdlatul Ulama sebagai peneliti di Lembaga Kajian Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) dan Perhimpungan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Seingat saya, pada masa itu NU sedang mengalakkan pengarustamaan (mainstreaming) Hak Asasi Manusia (HAM) di pesantren-pesantren melalui program Fikih HAM, yang dikenal dengan Fiqh Huquq al-Insan.

Ide dasarnya, bahwa HAM merupakan sesuatu yang penting dijadikan sebagai prinsip dan nilai dalam relasi antar sesama manusia di dalam masyarakat global. Pertanyaannya, apakah HAM sejalan dengan Islam? Apakah umat Islam harus memperjuangkan HAM?

Saya masih ingat, Gus Dur - panggilan akrab almaghfur lahu KH. Abdurrahman Wahid - sangat aktif menghadiri forum-forum untuk menjelaskan pentingnya HAM bagi umat Islam, khususnya warga NU.

Apalagi selepas Gus Dur tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI, ia kerap menghadiri halaqah-halaqah yang digelar untuk mainstreaming HAM. Walaupun forum itu hanya dihadiri kiai-kiai muda yang jumlahnya hanya 30 orang.

Di lingkungan NU sebenarnya sudah muncul sebuah diktum yang sangat populer, yaitu al-ukhuwwah al-insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Diktum ini secara eksplisit menegaskan, bahwa persaudaraan antara sesama manusia merupakan sesuatu yang sangat penting dalam Islam.

NU harus menjadi teladan untuk membumikan persaudaraan kemanusiaan, apapun agama, jenis kelamin, suku, dan bahasanya. Persaudaraan kemanusiaan merupakan kunci penting untuk membangun relasi antar manusia di era globalisasi, yang disebut Thomas L. Friedman sebagai dunia yang datar (the world is flat).

Nah, ketika muncul upaya mainstreaming HAM sebenarnya tidak ada kendala yang berarti, karena NU sudah menganut prinsip persaudaraan kemanusiaan, di samping persaudaraan kebangsaan (al-ukhuwwah al-wathaniyyah) dan persaudaraan keislaman (al-ukhuwwah al-islamiyyah).

Di kitab-kitab klasik sangat mudah untuk mendapatkan rujukan untuk memperkuat penting HAM, antara lain lima prinsip dalam tujuan-tujuan pokok Syariat (Maqashid al-Syariah), yang dikenal dengan al-kulliyyat al-khamsah. Yaitu, melindungi akal (hifdz al-‘aql), melindungi jiwa (hifdz al-nafs), melindungi harta (hifdz al-mal), melindungi keturunan (hifdz al-nasl), melindungi agama (hifdz al-din).

Muhammad ‘Abid al-Jabiri menegaskan, bahwa lima prinsip tersebut dapat dijadikan pintu masuk untuk mengenalkan HAM kepada umat Islam, meskipun harus ada tafsir kontekstual yang mempunyai relevansi dengan nilai-nilai yang dianut dalam HAM.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com