DEPOK, KOMPAS.com - Mekanisme praperadilan dianggap masih belum efektif dalam menjamin berjalannya sistem peradilan di Indonesia.
Pengamat Hukum Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson, melalui penelitiannya bersama LBH Jakarta fokus mencatat beberapa masalah terkait ketidakadilan sistem praperadilan di Indonesia.
Pertama, kata Febby, terkait akses keadilan bagi masyarakat miskin.
Dari hasil penelitian yang dilakukannya, praperadilan cenderung hanya bisa dijangkau oleh orang yang punya uang banyak dan bisa menyewa pengacara hebat yang mahal.
"Artinya efektif atau tidak? Jangan melihat kepada orang yang punya uang saja tapi ke masyarakat yang banyak sekali mengalami unfair trial," tutur Febby di Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (21/1/2016).
"Karena unfair trial ini paling banyak dialami orang miskin," kata dia.
Masyarakat itu, lanjut Febby, tak memiliki akses untuk menempuh mekanisme praperadilan karena ketidaktahuan, keterbatasan dana dan juga tak memahami prosesnya.
Ia menambahkan, catatan kedua adalah proses praperadilan menggambarkan bahwa penyidik akan mempermainkan proses ini.
Salah satu narasumber penelitiannya menceritakan bahwa ada banyak penyidik yang berusaha menggagalkan praperadilan.
"Pada saat proses sudah hampir terlihat ada praperadilan masuk, maka dibuatlah P-21. Jelas-jelas dilimpahkan supaya gagal praperadilannya," kata Febby.
Permohonan praperadilan yang menggunakan prosedur perdata, lanjut dia, berdampak pada mekanisme pembuktian obyek permohonan yang juga dilakukan secara perdata.
"Hal ini berarti persidangan hanya memeriksa kelengkapan surat perintah penangkapan dan penahanan tanpa melihat fakta mengenai penangkapan dan penahanan yang sebenarnya," ucap Febby.
Padahal, tambahnya, pengalaman korban dan penasehat hukum menunjukkan bahwa surat perintah penangkapan dan penahanan dibuat setelah penangkapan atau penahanan dilakukan, dengan cap dan tanggal yang dibuat mundur.
"Penyidik bermain dengan waktu. Tanggal dimundurin artinya apa? Gagal praperadilannya kan? Gugur. Harus sudah diperiksa pokok perkara, segera dilimpahkan," kata Febby.
Penangkapan dan penahanan yang tidak sah juga kerap disertai dengan penyiksaan terhadap tersangka atau terdakwa.
Febby memaparkan, ketakutan penyidik akan adanya proses praperadilan nampak selain dari upaya untuk menggugurkan praperadilan, tetapi juga nampak dari upaya intimidasi kepada pemohon.
"Dalam kasus Hasan Basri, Khotimah (istri Hasan) mengakui adanya ancaman ketika mengajukan praperadilan," ujarnya.
Pengalaman-pengalaman buruk korban mengenai tidak efektifnya praperadilan, lanjut Febby, menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap mekanisme tersebut.
"Hal tersebut ditegaskan dalam kebanyakan putusan pengadilan yang menolak mekanisme praperadilan," ujar Febby.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.