Oleh: Abdillah Toha
JAKARTA, KOMPAS - Sebenarnya perdebatan tentang nasionalisme dan keberadaan modal asing di sini sudah berjalan lama. Namun, belakangan, ketika kasus "papa minta saham" muncul, reaksi masyarakat merebak dan melebar ke mana-mana. Di antaranya ke persoalan kontrak karya PT Freeport: apakah sebaiknya diperpanjang, berapa saham yang harus kita miliki, atau tidak diperpanjang sama sekali kemudian kita ambil alih sepenuhnya.
Mereka yang membiarkan modal asing "menguasai" atau mengelola sumber daya alam kita dituduh tidak nasionalis. Rakyat dan negara telah dirugikan karena kekayaan alam itumilik kita dan harus kembali kepada kita. Demikian kira-kira argumentasinya. Ditambah lagi ada pasal dalam konstitusi kita yang mengamanatkan agar kekayaan alam kita "dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" (Pasal 33 Ayat 3).
Nasionalisme sering diartikan sebagai sikap patriotik, setia kepada negara dan bangsa. Nasionalisme juga bisa menjurus ke sikap anti-asing (xenofobia). Pada tingkat ekstrem, nasionalisme seperti Nazi Jerman dimaknai sebagai rasa super sebuah bangsa di atas bangsa-bangsa lain.
Tulisan ini akan berargumentasi bahwa ternyata nasionalisme dalam wujud penolakan terhadap semua bentuk kepemilikan asing tidak selalu sama dan paralel dengan "kepentingan nasional".
Cenderung emosional
Jika berupaya berpikir jernih, kita akan sadar bahwa nasionalisme dalam arti anti-kepemilikan asing itu sering kali lebih cenderung emosional daripada rasional. Masalah yang kita hadapi bukan banyaknya kepemilikan asing. Masalahnya adalah keberadaan mereka yang seharusnya bisa membawa lebih besar keuntungan buat kita, tetapi itu tidak terjadi. Masalahnya adalah menentukan pilihan: modal asing mana yang baik untuk kita dan mana yang buruk. Masalahnya juga adalah persyaratan kehadiran mereka di sini tidak ditetapkan secara benar dan hati-hati.