Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peradi: Bikin Gaduh, Surat Edaran "Hate Speech" Lebih Baik Dicabut

Kompas.com - 04/11/2015, 14:17 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Luhut Pangaribuan menilai, munculnya Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang ujaran kebencian atau hate speech menimbulkan persepsi yang berbeda-beda bagi masyarakat.

Bahkan, kata dia, surat edaran tersebut berpotensi membuat gaduh karena dianggap mengekang masyarakat untuk berekspresi.

"Bagaimana dia memasukkan Pasal 310 dan 311 dalam hate speech itu yang bikin gaduh. Perlu disadari Kapolri, kalau perlu itu dicabut aja surat edaran," ujar Luhut di Kantor YLBHI, Jakarta, Rabu (4/11/2015).

Pasal 310 dan 311 KUHP mengatur soal pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. (Baca: Komnas HAM Minta Pencemaran Nama Baik Dihapus dari SE "Hate Speech" )

Luhut menilai, semestinya sejak awal surat edaran tersebut tidak perlu diterbitkan. Pasalnya, sudah ada berbagai pasal yang mengatur hal serupa, misalnya pencemaran nama baik yang sudah sepatutnya dijalankan oleh Polri.

"Dicabutnya surat edaran tidak mengurangi kewenangan polisi menangani kasus hate speech itu," kata Luhut.

Pernyataan senada dilontarkan mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin yang juga anggota Peradi. (Baca: Bermacam Hal yang Perlu Diketahui soal Edaran Kapolri tentang "Hate Speech"... )

Ia menilai, tanpa adanya surat edaran itu polisi tetap masih bisa menegakkan hukum sesuai undang-undang yang berlaku.

"Kehadiran surat edaran ini hanya menimbulkan kerancuan, seakan edaran ini bisa membatasi kebebesan berekpresi, social control dan demokrasi. Hate speech bisa diterapkan meski tidak ada surat edaran," kata Amir. 

(Baca: Kapolri: Surat Edaran "Hate Speech" Justru Beri Kepastian Hukum )

Ujaran kebencian yang masuk ke obyek SE ini adalah ujaran yang bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat yang dibedakan dari aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.

SE juga memberikan petunjuk bagi personel Polri dalam menangani ujaran kebencian itu agar tidak sampai menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial yang meluas.

Salah satunya adalah personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.

Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka personel Polri wajib mengambil tindakan antara lain mencari solusi perdamaian antara pihak bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak negatif yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.

Terakhir, jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan KUHP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas: Progres Pembangunan IKN Tahap 1 Capai 80,82 Persen

Nasional
Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Hakim MK Cecar KPU RI Soal Ubah Aturan Tenggat Waktu Rekapitulasi Suara Pileg

Nasional
Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Presen Buruk Jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Pakar Hukum: PTUN Bisa Timbulkan Presen Buruk Jika Kabulkan Gugatan PDI-P

Nasional
Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

Gerindra: Pak Prabowo Bisa Jadi Presiden Terpilih Berkat Doa PKS Sahabat Kami

Nasional
Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Pakai Pelat Palsu Anggota DPR, Pemilik Alphard dalam Kasus Brigadir RAT Bakal Dipanggil MKD

Nasional
Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Jokowi Soroti Banyak Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang Tak Sinkron

Nasional
KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

KPK Tak Hadir, Sidang Gugatan Status Tersangka Gus Muhdlor Ditunda

Nasional
Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Sebut Prabowo Tak Miliki Hambatan Psikologis Bertemu PKS, Gerindra: Soal Teknis Saja

Nasional
Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi 'Doorstop' Media...

Saat Jokowi Pura-pura Jadi Wartawan lalu Hindari Sesi "Doorstop" Media...

Nasional
Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Dampak UU DKJ, Usia Kendaraan di Jakarta Bakal Dibatasi

Nasional
Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Anggota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta bersama Pengacara

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com