Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasal Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Dinilai Diskriminatif

Kompas.com - 10/06/2015, 20:36 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Eddy Hiariej menilai bahwa Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersifat diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Ia juga menilai pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi pimpinan KPK.

"Perbedaan peraturan antara pimpinan KPK, presiden dan pimpinan lembaga lainnya menunjukan adanya diskriminasi. Seharusnya ada pembatasan tindak pidana untuk jadi syarat pemberhentian sementara pimpinan KPK," ujar Eddy dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (10/6/2015).

Eddy memaparkan sejumlah pembatasan kualifikasi tindak pidana sebagai syarat pemberhentian pimpinan KPK. Lazimnya, tindak pidana yang dapat dikenakan untuk pemberhentian adalah korupsi, terorisme, pelanggaran HAM, narkotika, dan kejahatan dengan sanksi penjara lebih dari 10 tahun.

Eddy memberi contoh, presiden hanya dapat diberhentikan apabila melakukan pelanggaran berat, seperti berkhianat pada negara, melakukan perbuatan tercela, menerima suap, atau melakukan tindak pidana korupsi lainnya. Selain itu, syarat-syarat pemberhentian Hakim Agung, Hakim Konstitusi, dan pimpinan BPK, berbeda dengan syarat pemberhentian pimpinan KPK.

"Seharusnya siapa pun harus sama di hadapan hukum," kata Eddy.

Selain itu, Eddy menilai pasal tersebut melanggar hak asasi pimpinan KPK. Sebab, pimpinan KPK dapat dengan mudah diberhentikan karena tuduhan tindak pidana ringan yang dilakukan sebelum menjabat sebagai pimpinan KPK.

Penetapan tersangka, menurut Eddy, ditentukan hanya melalui suatu bukti permulaan, sehingga seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dapat secepatnya diproses. Namun, jika tidak ditemukan bukti yang cukup, maka pemeriksaan harus dihentikan dan seorang tersangka dianggap tidak bersalah sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap.

Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ), menjadi pemohon dalam uji materi Pasal 32 ayat 2 UU KPK. Menurut mereka, pemberhentian sementara pimpinan KPK apabila menjadi tersangka dalam dugaan tindak pidana, bertentangan dengan konstitusi.

Salah satunya, mereka menilai pasal tersebut tidak mengindahkan prinsip persamaan di depan hukum dan asas praduga tak bersalah. Gugatan tersebut dilatarbelakangi dua pimpinan KPK, yaitu Bambang dan Abraham Samad yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri. Keduanya dinonaktifkan dari jabatan sebelum menjalani proses pembuktian di persidangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Nasional
PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

Nasional
Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Nasional
Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Nasional
Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Nasional
PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

Nasional
Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Nasional
Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Nasional
Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Nasional
Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com