Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tolak Grasi Terpidana Mati Narkoba, Gebrakan di Era Jokowi

Kompas.com - 10/12/2014, 07:50 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo yang menolak grasi bagi 64 terpidana mati kasus narkoba. Menurut dia, langkah ini merupakan suatu gebrakan dalam penegakan hukum di Indonesia.

"Ini langkah awal, suatu gebrakan oleh Jokowi. Itu menunjukkan Jokowi komitmen terhadap apa yang pernah dijanjikannya, tidak akan kasih grasi pada terpidana narkotika," ujar Henry saat dihubungi, Selasa (10/12/2014) malam.

Henry membandingkannya dengan keputusan presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, yang mengabulkan pengajuan grasi oleh sejumlah terpidana mati narkoba, termasuk gembong narkoba. Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-P itu mengatakan, hal tersebut menunjukkan bahwa Jokowi menaruh perhatian khusus pada kasus narkoba dan tak ada kompromi dalam pemberantasan peredaran narkoba.

"Zaman SBY, beberapa orang mengajukan, dikabulkan semua. Ini 64 orang mengajukan, ditolak semua. Kan keren," kata Henry.

Selain itu, Henry mendukung Jokowi yang memerintahkan Kejaksaan Agung untuk mengeksekusi mati terpidana narkoba. Ia menilai Jokowi begitu peka dan responsif terhadap tuntutan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang mendesak hukuman maksimal bagi pelaku dalam kasus narkoba.

"Tadinya kami akan datangi kejaksaan untuk mendesak eksekusi mati. Belum saya turun, Jokowi sudah menyuruh eksekusi," ujar Henry.

Jokowi memastikan akan menolak permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkoba. Menurut dia, tidak ada ampun bagi gembong narkoba agar ada efek terapi kejut (shock therapy).

"Saya akan tolak permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkoba. Saat ini permohonannya sebagian sudah ada di meja saya dan sebagian masih berputar-putar di lingkungan Istana," kata Jokowi, Selasa kemarin di Yogyakarta.

Jokowi menegaskan, kesalahan itu sulit dimaafkan karena mereka umumnya adalah para bandar besar yang demi keuntungan pribadi dan kelompoknya telah merusak masa depan generasi penerus bangsa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

554 Kloter Jemaah Haji Reguler Sudah Kantongi Visa, Siap Berangkat Mulai 12 Mei

Nasional
Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Anggap Wajar Prabowo Wacanakan 41 Kementerian, Demokrat: Untuk Respons Tantangan Bangsa

Nasional
PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

PAN Gelar Rakornas Pilkada Serentak, Prabowo Subianto Bakal Hadir

Nasional
KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

KPK Ancam Pidanakan Pihak yang Halangi Penyidikan TPPU Gubernur Malut

Nasional
KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

KPK Sita Aset Gubernur Malut Rp 15 Miliar dari Nilai TPPU Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada 'Abuse of Power'

Mantu Jokowi Akan Maju Pilkada Sumut, PDI-P Singgung Jangan Ada "Abuse of Power"

Nasional
Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Menantu Jokowi Bakal Maju Pilkada Sumut, PDI-P: Jangan Terjadi Intervensi

Nasional
Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Isu Tambah Kementerian dan Bayang-bayang Penambahan Beban Anggaran

Nasional
Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin Mangkir dari Panggilan KPK

Nasional
Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Kementan Era SYL Diduga Beri Auditor BPK Rp 5 Miliar demi Opini WTP, Anggota DPR: Memalukan

Nasional
Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com