Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bola Panas Surat Pemberhentian Prabowo Dilempar ke SBY

Kompas.com - 13/06/2014, 08:03 WIB
Meidella Syahni

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik dari Sugeng Sarjadi School of Government, Fadjroel Rachman, menantang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaktifkan kembali Dewan Kehormatan Perwira (DKP) atau membuat DKP jilid II untuk meluruskan isu rekomendasi pemberhentian Prabowo Subianto.

"Bola panas ini dilemparkan ke SBY, sebagai panglima tertinggi (TNI) saat ini dan salah satu anggota DKP yang katanya ikut menandatangani surat rekomendasi tersebut," ujar Fadjroel saat dihubungi Kompas.com, Kamis (12/6/2014).

Menurut aktivis 98 ini, ada dua hal yang harus diperiksa setelah beredarnya surat rekomendasi tersebut. Selain klarifikasi oleh SBY sebagai panglima tertinggi TNI, DKP jilid II sebagaimana yang dimaksud Fadjroel perlu memeriksa pernyataan Prabowo.

"Pengakuan Prabowo dalam debat membuat kita makin curiga. Selain membenarkan melakukan penculikan juga diduga melakukan pembohongan terhadap jenderal DKP. Orang berpikir atasan yang ia maksud adalah Wiranto. Namun, menurut penuturan Pak Agum Gumelar ia (Prabowo) mengaku diperintah Soeharto. Ini mesti diselidiki," papar Fadjroel.

Selain itu, Fadjroel juga menilai dengan terbukanya surat DKP ini, kasus capres nomor urut satu ini mirip dengan kasus mantan hakim Mahkamah Konsitusi Akil Mochtar. Menurut dia, kedua orang tersebut sama-sama diberhentikan oleh dewan etik di lembaga masing-masing.

Beda antara Prabowo dan Akil, sebut Fadjroel, kasus Akil setelah ia diberhentikan berlanjut ke pengadilan tindak pidana korupsi sementara kasus Prabowo terputus tanpa ada pengadilan HAM. "Apa pun namanya diberhentikan secara hormat atau tidak, ini mirip dengan kasus Akil yang diberhentikan oleh lembaga etik administratif lembaga," tegas dia.

Karena itu, Fadjroel berpendapat penting bagi anggota DKP untuk bertemu lagi dan menentukan sikap. "Apakah mereka dibohongi atau tidak oleh Prabowo?" ujar dia tentang pentingnya pembicaraan itu.

Jika benar pada saat itu Prabowo hanya menjadi pelaksana lapangan dan berada di bawah instruksi Presiden Soeharto, Fadjroel berpendapat pernyataan tersebut merusak citra TNI. Pasalnya, instruksi tersebut tak diketahui sejumlah perwira tinggi TNI seperti Wiranto yang merupakan atasan langsung Prabowo pada waktu itu.

"Jadi pernyataannya itu berbahaya untuk dirinya (Prabowo) dan mempertanyakan keabsahan DKP itu sendiri. Jika Prabowo yang benar berarti Prabowo adalah boneka Soeharto. Nah, karena dia yang masih hidup dia harus meluruskan ini," kata Fadjroel.

Terkait pencalonan diri Prabowo menjadi presiden tahun ini, Fadjroel menilai Komisi Pemilihan Umum berada di titik hukum positif dengan tetap menerima Prabowo karena memang belum ada putusan hukum tetap dari Pengadilan HAM.

"Karena pengadilan HAM itu memang tidak pernah ada. Dan kalau dia (Prabowo) menang pilpres, tidak akan ada pengadilan HAM. Karena itu, kita berharap pada SBY saat ini," imbuh dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KY Prioritaskan Laporan KPK terhadap Majelis Hakim yang Bebaskan Gazalba Saleh

KY Prioritaskan Laporan KPK terhadap Majelis Hakim yang Bebaskan Gazalba Saleh

Nasional
PPATK Catat Perputaran Dana terkait Pemilu 2024 Senilai Rp 80,1 T

PPATK Catat Perputaran Dana terkait Pemilu 2024 Senilai Rp 80,1 T

Nasional
Anggota DPR Sebut PPATK Macan Ompong karena Laporan Tak Ditindaklanjuti Penegak Hukum

Anggota DPR Sebut PPATK Macan Ompong karena Laporan Tak Ditindaklanjuti Penegak Hukum

Nasional
KPK Sebut Kasus Bansos Presiden Terungkap Saat OTT Kemensos yang Seret Juliari

KPK Sebut Kasus Bansos Presiden Terungkap Saat OTT Kemensos yang Seret Juliari

Nasional
PDN Diretas, Ombudsman: Yang Produksi Ransomware Ini Harus Dicari dan Ditangkap

PDN Diretas, Ombudsman: Yang Produksi Ransomware Ini Harus Dicari dan Ditangkap

Nasional
KPK Duga Pengadaan Lahan di Rorotan oleh Perumda Sarana Jaya Rugikan Negara Rp 200 Miliar

KPK Duga Pengadaan Lahan di Rorotan oleh Perumda Sarana Jaya Rugikan Negara Rp 200 Miliar

Nasional
Kasus Rekayasa Jual Beli Emas Budi Said, Kejagung Periksa 3 Pegawai Pajak

Kasus Rekayasa Jual Beli Emas Budi Said, Kejagung Periksa 3 Pegawai Pajak

Nasional
Menko PMK Sebut Pinjamkan Nomor Rekening ke Pelaku Judi 'Online' Bisa Dipidana

Menko PMK Sebut Pinjamkan Nomor Rekening ke Pelaku Judi "Online" Bisa Dipidana

Nasional
Satgas Kantongi Identitas Pemain Judi Online, Bandar Belum Jadi Prioritas

Satgas Kantongi Identitas Pemain Judi Online, Bandar Belum Jadi Prioritas

Nasional
PKS Usung Anies-Sohibul Iman di Pilkada Jakarta, Tutup Peluang Cawagub dari Nasdem atau PDI-P?

PKS Usung Anies-Sohibul Iman di Pilkada Jakarta, Tutup Peluang Cawagub dari Nasdem atau PDI-P?

Nasional
Sudahi Manual, Waktunya Rekapitulasi Pemilu Elektronik

Sudahi Manual, Waktunya Rekapitulasi Pemilu Elektronik

Nasional
Menko PMK Minta Warga Waspadai Penyalahgunaan Rekening untuk Judi 'Online'

Menko PMK Minta Warga Waspadai Penyalahgunaan Rekening untuk Judi "Online"

Nasional
Saksi Ungkap Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton Jadi Baja untuk Bantu Industri Baja Nasional

Saksi Ungkap Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton Jadi Baja untuk Bantu Industri Baja Nasional

Nasional
Pendidikan dan Penguatan Demokrasi

Pendidikan dan Penguatan Demokrasi

Nasional
Divonis 9 Tahun Penjara di Kasus LNG, Karen Agustiawan Banding

Divonis 9 Tahun Penjara di Kasus LNG, Karen Agustiawan Banding

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com