Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/01/2014, 02:54 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah partai mengkritik keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pemilu serentak. Partai Persatuan Pembangunan adalah salah satunya. PPP mempertanyakan legitimasi pelaksanaan Pemilu 2014 jika MK menyatakan bahwa pemilu seharusnya dilakukan serentak.

"PPP menghormati keputusan MK, namun karenanya juga mempertanyakan konstitusionalitas Pemilu 2014," ujar Sekretaris Jenderal PPP M Romahurmuzy saat dihubungi Kamis (23/1/2014). Politisi yang akrab disapa Romy ini menilai bahwa MK telah menafsirkan Pasal 22E dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang pemilu sebagai pemilu yang dilakukan serentak.

"Lantas bagaimana dengan legitimasi pemilu 2014?" tanya Romahurmuzy. Ketua Komisi IV DPR tersebut meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera menggelar rapat konsultasi bersama dengan Badan Pengawas Pemilu. Menurut dia, harus diantisipasi kegaduhan politik yang menyoal legitimasi Pemilu 2014.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat Untuk Pemilu Serentak. Namun, putusan itu dinyatakan berlaku untuk Pemilu Presiden 2019.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/1/2014). Permohonan yang dikabulkan adalah untuk uji materi atas Pasal (3) Ayat (5), Pasal 12 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (2), serta Pasal 112 UU 42 Tahun 2008.

Dalam amar putusan, majelis hakim konstitusi menyatakan bahwa putusan tersebut hanya berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya. Permohonan yang tidak dikabulkan adalah uji materi atas Pasal 9 UU 42 Tahun 2008 yang mengatur tentang besaran batas minimal perolehan suara partai politik untuk dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential treshold).

Mahkamah menyatakan pula bahwa putusan tidak dapat digunakan untuk Pemilu 2014 agar tak muncul ketidakpastian hukum. Dalam pertimbangan putusan, MK menilai tahapan Pemilu 2014 sudah memasuki tahap akhir. Bila seperti lazimnya putusan berlaku seketika setelah dibacakan, majelis menilai yang terjadi adalah terganggunya Pemilu 2014.

Langkah membatasi akibat hukum dari putusan ini, menurut majelis, juga sudah memiliki preseden alias putusan serupa di masa lalu. Karenanya, majelis menegaskan putusan ini baru berlaku segera setelah seluruh rangkaian tahapan Pemilu 2014 rampung.

Meskipun lima dari enam gugatan uji materi dikabulkan, di luar isu presidential treshold, majelis berpendapat pelaksanaan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Putusan ditandatangani delapan hakim konstitusi, dengan dissenting opinion atau pendapat berbeda disampaikan Maria Farida Indrati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Nasional
Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Nasional
Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Partai Negoro Resmi Diluncurkan, Diinisiasi Faizal Assegaf

Nasional
Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Nasional
Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Nasional
ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Nasional
KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

Nasional
Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Nasional
Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Nasional
Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Nasional
Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Nasional
Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Nasional
KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com