Ia mengatakan, ada dua pandangan di internal PPI. Pertama, tidak ingin PPI menjadi parpol. Sejak awal, kata Anas, PPI dibangun menjadi organ sosial dan kebudayan sehingga harus tetap seperti itu.
Pandangan kedua, kata Anas, tergantung sejarah.
"Kalau sejarah membutuhkan PPI berubah, mentrasformasi diri menjadi parpol, itu panggilan sejarah. Tidak boleh takdir sejarah 5 tahun lagi, 10 tahun lagi diputuskan sekarang. Itu mendahului takdir," katanya, saat berkunjung ke Kantor Tribun, Jakarta, Selasa (3/12/2013) sore.
Lalu, bagaimana pandangan Pribadi Anas terhadap masa depan PPI?
"Saya pribadi ingin PPI tetap menjadi organ sosial kebudayaan. Itu niat awal, komitmen awal yang harus dipegang teguh. Buat saya, PPI wadah terbuka bagi siapa pun, termasuk dari parpol berbeda-beda. Sekarang yang gabung PPI latar belakang parpolnya macam-macam. Saya bilang ke teman-teman, kalau mau bikin partai, yah lain lagi. Bisa saja Demokrat Perjuangan, misalnya, atau apalah," jawab Anas.
Ketika ditanya bagaimana jalannya organisasi PPI selanjutnya ketika dirinya ditahan KPK, Anas mengatakan, sejak awal pihaknya sudah memikirkan hal itu. Ia menekankan kepada internal PPI bahwa PPI tidak boleh bergantung atau mengidentikkan diri kepada Anas.
"Yang prinsipil kita harus perbaiki kekurangan cara berpikir lama bahwa organisasi menjadi properti pribadi atau tokoh, atau keluarganya tokoh. Saya katakan, ini soal sikap budaya dalam mengelola organisasi," ucap Anas.
"PPI modal dasarnya, sahamnya dimiliki bersama. Tidak ada tokoh, atau keluarga tokoh yang pegang saham mayoritas. Ada Anas atau tidak ada Anas, PPI harus jalan. Anak saya sudah saya sampaikan, 'Kamu jangan bercita-cita jadi Sekjen PPI'. Dia sudah ngerti," tambah Anas.
Untuk itu, lanjut Anas, pengurus PPI tengah menyusun perangkat di seluruh Indonesia. Segala sesuatu bisa terjadi pada masa depan, khususnya pasca-Pemilu 2014.
"Pascapemilu sangat dimungkinkan akan ada perubahan peta politik nasional. Ketika ada perubahan itu, sangat mungkin akan punya makna bagi perkembangan PPI di daerah. Saya berhenti di situ. Sampeyan pasti tahulah maksudnya," paparnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.