Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggota PPP Ajukan Uji Materi UU Pemilu Terkait "Parliamentary Threshold" ke MK

Kompas.com - 04/07/2024, 06:08 WIB
Novianti Setuningsih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sepertinya masih berusaha lolos ke Senayan. Meskipun, enam gugatan sengketa hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) ditolak.

Kali ini, PPP melalui seorang anggotanya yang bernama Didi Apriadi mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke MK, terkait parliamentary threshold atau ambang batas parlemen

Dalam sidang uji materi yang digelar oleh MK di Gedung 1 MK, Jakarta, Rabu (3/7/2024), Didi selaku Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, M. Malik Ibrohim, mempersoalkan norma yang menyatakan "Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".

Baca juga: Sandiaga Uno dan Kegagalan PPP Lolos ke Parlemen, “Bukan Saatnya Cari Biang Kerok”

Malik menjelaskan bahwa Pemohon merasa telah dirugikan atas berlakunya pasal tersebut karena PPP pada Pileg 2024 meraih 5.878.777 suara dari 84 daerah pemilihan atau hanya setara dengan 3,87 persen. Dengan kata lain, tidak memenuhi ambang batas parlemen.

"Keberlakuan Pasal 414 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 telah menyebabkan partai Pemohon kehilangan hak untuk memperoleh kursi anggota DPR yang berakibat juga pada suara pemohon menjadi hangus dan terbuang sia-sia,” kata Malik dikutip dari Antaranews, Rabu.

Terkait sudah banyaknya perkara yang telah menguji norma yang sama, menurut Malik, Pemohon menegaskan bahwa hal yang dipersoalkan bukan pengulangan atau "Ne Bis In Idem".

Adapun asas "Ne Bis In Idem" adalah perkara dengan objek, para pihak, dan materi pokok perkara yang sama diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.

"Pemohon berkeyakinan bahwa selama norma a quo tetap diberlakukan, maka akan terus terjadi disproporsionalitas atau ketidaksetaraan antara suara pemilih dan jumlah partai politik di DPR,” ujar Malik.

Baca juga: PPP Tak Lolos ke Parlemen Buntut Gagap Menghadapi Perubahan Pemilih

Oleh karena itu, dalam petitumnya, Didi Apriadi meminta agar MK menyatakan bahwa Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak Pemilu DPR 2024.

Menanggapi permohonan tersebut, salah majelis hakim panel yakni Enny Nurbaningsih nasihat dan saran perbaikan.

Dia meminta Pemohon memberikan alasan yang kuat atas permohonannya mengingat Pasal 414 Ayat (1) tersebut sudah sering diuji dan diputus MK.

"Ini tugas beratnya di sini, apa sesungguhnya yang bisa meyakinkan Mahkamah bahwa putusan Mahkamah terakhir, Putusan Nomor 116 Tahun 2023 yang telah memaknai Pasal 414 Ayat (1), itu kemudian harus di-challenge oleh prinsipal Saudara," ujar Enny.

Oleh karenanya, MK memberikan tenggat waktu bagi Didi Apriadi dan kuasa hukumnya untuk menyerahkan berkas permohonan yang telah diperbaiki paling lambat pada Selasa, 16 Juli 2024 pada pukul 09.00 WIB.

Baca juga: PPP, PDI-P, dan PKS Disebut Sedang Jajaki Koalisi untuk Pilkada Jabar

Sebagaimana diketahui, PPP hampir bisa dipastikan tidak lolos ke Senayan untuk periode 2024-2029.

Sebab, berdasarkan hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, PPP hanya memperoleh 5.878.777 suara atau setara 3,87 persen suara nasional pada Pileg 2024.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Jokowi Dinilai Tetap Akan Miliki Pengaruh pada Pilkada 2024, Gibran Akan 'All Out'

Jokowi Dinilai Tetap Akan Miliki Pengaruh pada Pilkada 2024, Gibran Akan "All Out"

Nasional
Duga Jadi Sasaran KPK, Megawati Dinilai Lempar Sinyal Sudah Tak Sejalan dengan Pemerintah

Duga Jadi Sasaran KPK, Megawati Dinilai Lempar Sinyal Sudah Tak Sejalan dengan Pemerintah

Nasional
Perayaan Tahun Baru Islam, Menag Berharap Jadi Inspirasi untuk Perbaikan Diri

Perayaan Tahun Baru Islam, Menag Berharap Jadi Inspirasi untuk Perbaikan Diri

Nasional
Kisruh Sirekap, Ketua Komisi II DPR  Usul Negara Siapkan Gawai untuk KPPS pada Pilkada 2024

Kisruh Sirekap, Ketua Komisi II DPR Usul Negara Siapkan Gawai untuk KPPS pada Pilkada 2024

Nasional
Kaesang Digadang-gadang Maju Pilkada Jakarta, Peneliti BRIN: Ini Bukan Kelas Berat Lawan Kelas Bulu...

Kaesang Digadang-gadang Maju Pilkada Jakarta, Peneliti BRIN: Ini Bukan Kelas Berat Lawan Kelas Bulu...

Nasional
Jelang Pilkada, Sirekap KPU Diminta Lebih Cerdas dan KPPS Bisa Koreksi Data

Jelang Pilkada, Sirekap KPU Diminta Lebih Cerdas dan KPPS Bisa Koreksi Data

Nasional
Kapolda Sumbar Dinilai Tak Terima Kritik Terkait Kasus Kematian Afif Maulana

Kapolda Sumbar Dinilai Tak Terima Kritik Terkait Kasus Kematian Afif Maulana

Nasional
DPR: Jika KPU Gagal Jelaskan soal Sirekap, Tak Usah Pakai di Pilkada

DPR: Jika KPU Gagal Jelaskan soal Sirekap, Tak Usah Pakai di Pilkada

Nasional
DPR Bakal Panggil KPU Bahas Evaluasi Sirekap Jelang Pilkada 2024

DPR Bakal Panggil KPU Bahas Evaluasi Sirekap Jelang Pilkada 2024

Nasional
Sentil Kaesang, Peneliti BRIN: Karier Itu Tak Bisa Lompat, Pak Jokowi Saja Mulai dari Solo Dulu

Sentil Kaesang, Peneliti BRIN: Karier Itu Tak Bisa Lompat, Pak Jokowi Saja Mulai dari Solo Dulu

Nasional
Mencari Demokrasi Indonesia

Mencari Demokrasi Indonesia

Nasional
Jadwal Kegiatan Paus Fransiskus Saat Berkunjung ke Indonesia

Jadwal Kegiatan Paus Fransiskus Saat Berkunjung ke Indonesia

Nasional
SYL Bacakan Pleidoi: Menangis, Minta Dibebaskan hingga Putar Video Arahan Jokowi

SYL Bacakan Pleidoi: Menangis, Minta Dibebaskan hingga Putar Video Arahan Jokowi

Nasional
Pihak SYL Ingin Pejabat Kementan Jadi Tersangka Suap, Jaksa KPK: Pengakuan Adanya Korupsi

Pihak SYL Ingin Pejabat Kementan Jadi Tersangka Suap, Jaksa KPK: Pengakuan Adanya Korupsi

Nasional
Klarifikasi soal Jokowi Sodorkan Kaesang, Sekjen PKS: Bukan Menyerang Pribadi atau Pihak Tertentu

Klarifikasi soal Jokowi Sodorkan Kaesang, Sekjen PKS: Bukan Menyerang Pribadi atau Pihak Tertentu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com