Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rasminto
Dosen

Dosen Prodi Geografi FKIP Universitas Islam 45 (UNISMA) dan Pemerhati Sosial dan Kependudukan

Refleksi 26 Tahun Reformasi: Perbaiki Penegakan Hukum dan Pendidikan Terjangkau

Kompas.com - 25/05/2024, 14:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menurut laporan KPK, lembaga tersebut telah menangani 1.512 kasus tindak pidana korupsi sejak 2004 sampai 2023.

Berbagai kasus tindak Pidana korupsi yang ditangani KPK banyak sekali modusnya, seperti; gratifikasi/penyuapan sebanyak 989 kasus; pengadaan barang/jasa sebanyak 339 kasus; tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebanyak 58 kasus; penyalahgunaan anggaran sebanyak 57 kasus; perizinan sebanyak 28 kasus, pungutan/pemerasan sebanyak 28 kasus; dan merintangi proses KPK sebanyak 13 kasus.

Persoalan di atas, menuntut peningkatan integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, dan hakim. Sebab, profesi ini merupakan kunci untuk menciptakan sistem hukum yang terpercaya.

Reformasi di tubuh penegak hukum harus terus dilanjutkan dengan fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, transparansi dalam proses rekrutmen dan promosi, serta penerapan sanksi tegas terhadap aparat yang terlibat dalam penyimpangan.

Pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan serta mekanisme pengawasan yang kuat diperlukan untuk menjaga integritas aparat penegak hukum.

Kita pun sering dihadapkan pada stigma “no viral, no justice”, artinya keadilan akan didapatkan apabila kasus-kasus hukum menjadi konsumsi publik karena menjadi pemberitaan yang menghebohkan di masyarakat.

Contoh terakhir kasus pembunuhan Vina, remaja di Cirebon 2016 silam, menjadi viral ketika didokumentasikan menjadi film layar lebar.

PR reformasi 1998 yang perlu dituntaskan lainnya adalah membangun sistem peradilan yang independen dan bebas dari intervensi politik. Hal ini menjadi prasyarat untuk penegakan hukum yang efektif.

Reformasi peradilan harus mencakup perbaikan administrasi peradilan, percepatan proses hukum, dan peningkatan akses terhadap layanan peradilan bagi seluruh masyarakat.

Pengadilan harus mampu menjalankan fungsinya dengan profesional dan transparan, memberikan keadilan tanpa diskriminasi.

Selain penegakan hukum, reformasi 1998 juga menekankan pentingnya pendidikan sebagai hak dasar bagi setiap warga negara.

Namun, mahalnya biaya pendidikan masih menjadi hambatan besar bagi banyak keluarga di Indonesia.

PR besar dalam sektor pendidikan ini adalah adanya isu komersialisasi pendidikan, yang tercermin dalam kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) semakin memperkuat kesenjangan sosial.

Masyarakat berpendapatan rendah cenderung menjadi korban utama dari situasi ini, sementara mereka dari latar belakang ekonomi yang lebih mapan memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengakses pendidikan tinggi.

Lompatan kenaikan UKT yang selangit dipicu peraturan UKT baru dari Permendikbudristek No 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek.

Mendikbudristekdikti, Nadiem Makarim berkilah dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI di Gedung DPR RI Jakarta (21/5). Ia berkilah dengan menyatakan, "Saya berkomitmen, serta Kemendikbudristek memastikan, harus ada rekomendasi dari kami untuk pastikan lompatan-lompatan yang tidak masuk akal dan tidak rasional itu akan kami berhentikan. Jadi kami akan memastikan bahwa kenaikan yang tidak wajar akan kami cek, evaluasi, assess”.

Namun, apakah sanggahan dari Menteri Nadiem ini lantas dapat segera menyelesaikan persoalan “komersialisasi pendidikan” dari dampak mahalnya biaya pendidikan saat ini?

Hal ini tentu menjadi PR besar agenda reformasi yang menuntut pendidikan dapat dinikmati oleh semua kalangan dalam menggapai mimpi terbebas dari masalah kemiskinan, angka partisipasi sekolah dan buta aksara nasional.

Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) mencatat angka kemiskinan nasional masih 9,36 persen. Padahal, target angka kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 6,5 – 7,5 persen.

Indonesia pun dihadapkan pada persoalan angka partisipasi Sekolah (APS) yang terjadi kesenjangan dari jenjang SD-SMP dengan jenjang SMA dan Perguruan Tinggi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com