Sejumlah tersangka telah ditangkap. Di media sosial beredar bahwa di balik tambang timah ilegal ada back-up perwira tinggi. Spekulasi itu belum tentu benar. Namun ketika tak ada penjelasan resmi secara bersama, rumor dan spekulasi bakal kian merebak ke mana.
Di era post truth, informasi ini harus segera diklarifikasi oleh otoritas. Klarifikasi harus detail dan kredibel. Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah anggota Densus 88 memata-matai JAM Pidsus? Atas kepentingan dan perintah siapa?
Detasemen Khusus 88 Polri selama ini menjalankan tugas menangani aksi terorisme. Kepala Densus 88 adalah Irjen (Pol) Sentot Prasetyo menggantikan Irjen (Pol) Martinus Hukom.
Karena itulah, jika benar ada anggota Densus 88 memata-matai pejabat tinggi Kejaksaan tentu akan menimbulkan pertanyaan.
Pengamat Keamanan dari Center for Strategies and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal sebagaimana dikutip Kompas.ID mengatakan, jika benar informasi bahwa Jampidsus dikuntit Densus 88, marwah Densus 88 bisa terganggu dan kepercayaan publik terhadap lembaga itu juga akan berkurang.
Selama ini, mereka dipercaya menanggulangi aksi teror, kontraradikalisasi, dan kontraterorisme. Mengapa tugas pokok dan fungsi mereka itu justru menjadi spionase atau memata-matai pejabat tinggi Kejagung.
”Jampidsus itu kan pejabat tinggi yang mengerjakan penindakan hukum tindak pidana krusial, seperti korupsi dan pencucian uang. Artinya, Mabes Polri, dalam hal ini Kapolri dan Komandan Densus 88, harus mengklarifikasi. Sebab, ini mempertaruhkan kepercayaan publik,” jelasnya.
Menurut Nicky, Pengawasan Densus 88 terhadap Jampidsus Febrie dianggap tidak berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Artinya, unit khusus kepolisian itu sudah digunakan untuk urusan yang bukan bidangnya.
Kedua, apabila pengintaian itu berkaitan dengan kepentingan politik, tentu bisa melanggar mandat UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Lebih lanjut, Nicky menyebut bahwa kegiatan spionase sesama aktor penegakan hukum, yaitu Polri dan kejaksaan, justru bisa menimbulkan preseden buruk.
Padahal, seharusnya kedua aparat penegak hukum ini bisa lebih berkoordinasi, melakukan sinkronisasi dan kolaborasi. Namun, anehnya, yang terjadi justru adalah semacam kompetisi berbahaya.
”Ini juga bisa berarti tata kelola penegakan hukum di Indonesia sedang hancur-hancurnya kalau melihat situasi seperti itu karena antaraktor penegakan hukum ini kan tidak sinkron. Tambah lagi, yang harusnya mengawal pejabat tinggi kejaksaan ini kan kalau tidak polisi organ internal pengaman kejaksaan. Karena ini melibatkan polisi militer menjadi lebih rumit,” tambahnya.
Informasi atau pun spekulasi yang beredar berkaitan dengan penguntitan Densus 88 terhadap JAM Pidsus saatnya untuk dijelaskan kepada publik.
Sebuah teks tanpa diberikan konteks oleh otoritas seakan menyerahkan kepada publik dan pengamat untuk memberikan konteks atas informasi yang beredar. Publik berhak memberikan konteks atas sepenggal informasi yang terjadi.
Karut marut informasi seperti ini sama sekali tidak baik dan menciptakan situasi saling curiga.
Meski dalam suasana liburan, Presiden Jokowi atau paling tidak Menko Polhukam Hadi Tjahjanto bersama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk tampil bersama di depan publik untuk menjelaskan: apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan Kejaksaan Agung dan penguntitan Densus 88 terhadap JAM Pidsus Febrie Adriansyah.
Jangan biarkan publik berspekulasi. Publik juga berhak tahu atas apa yang terjadi di kalangan penegak hukum. Semakin ditutupi, akan semakin banyak juga informasi yang bocor dan malah menambah runyam.
Sambil meneruskan liburan, sambil menantikan pula klarifikasi dari otoritas negeri ini. Semoga segera datang sehingga hidup menjadi lebih tenang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.