Namun dalam praktiknya, acap kali demokrasi dapat mengalami berbagai tantangan yang mengancam kesehatannya, yang jika tidak ditangani, dapat menggerogoti fondasi demokrasi itu sendiri.
Salah satu tanda utama demokrasi yang sakit adalah menurunnya partisipasi politik dari masyarakat. Partisipasi politik tidak hanya terbatas pada pemilihan umum, tetapi juga mencakup keterlibatan dalam diskusi publik, demonstrasi, dan aktivitas politik lainnya.
Ketika masyarakat merasa apatis atau tidak percaya lagi bahwa partisipasi mereka dapat membawa perubahan, hal ini mencerminkan adanya masalah serius dalam sistem demokrasi.
Penurunan partisipasi politik bisa disebabkan oleh kekecewaan terhadap proses politik yang dianggap tidak transparan atau korup, yang pada gilirannya mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi demokrasi.
Selain itu, korupsi adalah musuh utama demokrasi. Ketika pejabat publik menggunakan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokrasi akan menurun.
Korupsi yang merajalela menunjukkan adanya kelemahan dalam mekanisme pengawasan dan akuntabilitas pemerintah.
Tanpa tindakan yang tegas terhadap korupsi, demokrasi akan semakin terpuruk dan kehilangan legitimasi.
Korupsi ini seringkali berhubungan erat dengan ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin meningkat, yang menjadi tanda bahwa demokrasi tidak berjalan dengan baik.
Ketika institusi-institusi demokrasi seperti parlemen, pengadilan, dan komisi pemilihan tidak lagi independen menjalankan fungsinya dengan baik karena intervensi politik, atau tekanan dari kelompok tertentu, maka demokrasi akan terganggu.
Institusi yang lemah tidak dapat menjalankan tugasnya untuk mengawasi pemerintah dan melindungi hak-hak warga negara. Kelemahan ini seringkali terlihat dalam proses pemilu yang tidak bebas dan tidak adil.
Proses pemilu dimanipulasi melalui kecurangan, intimidasi, atau penyalahgunaan sumber daya negara, maka hasil pemilu tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat.
Manipulasi pemilu menunjukkan adanya upaya untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara yang tidak demokratis, yang merusak integritas sistem politik. Hal ini juga bisa memicu munculnya populisme dan ekstremisme.
Populisme dan ekstremisme sering kali muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem politik yang ada.
Pemimpin populis cenderung menawarkan solusi sederhana untuk masalah kompleks dan sering kali merongrong institusi demokrasi dengan retorika anti-elite.
Meningkatnya populisme dan ekstremisme menunjukkan bahwa demokrasi sedang menghadapi krisis legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat. Krisis ini diperburuk oleh polarisasi politik yang ekstrem.
Pemilu merupakan fondasi dari sistem demokrasi yang sehat, di mana setiap warga negara memiliki hak untuk memilih pemimpin mereka secara bebas dan adil. Namun, kecurangan dalam pemilu adalah ancaman serius yang dapat merusak integritas demokrasi.
Bentuk-bentuk kecurangan seperti manipulasi daftar pemilih, pembelian suara, intimidasi dan kekerasan, serta penghitungan suara yang tidak transparan, sering kali terjadi. Manipulasi daftar pemilih adalah salah satu bentuk kecurangan pemilu yang paling mendasar.
Ini melibatkan penghapusan nama pemilih yang sah, atau penyertaan nama pemilih palsu dalam daftar pemilih.
Penghapusan nama pemilih yang sah dapat menghalangi sejumlah besar warga negara dari hak mereka untuk memilih, sementara penyertaan nama pemilih palsu dapat dimanfaatkan untuk suara fiktif yang mendukung kandidat tertentu.
Selain manipulasi daftar pemilih, pembelian suara adalah praktik korup yang merusak keadilan pemilu. Ini terjadi ketika kandidat atau pihak tertentu menawarkan uang atau janji-janji untuk memengaruhi pilihan pemilih.
Pembelian suara tidak hanya mencemarkan integritas pemilu, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Praktik ini sering kali terjadi di bawah permukaan dan sulit dideteksi, namun dampaknya sangat merusak.
Lebih jauh lagi, intimidasi dan kekerasan adalah bentuk kecurangan yang paling mengerikan karena menggunakan ancaman fisik atau psikologis untuk memengaruhi hasil pemilu.
Taktik ini digunakan untuk menakut-nakuti pemilih atau calon, sehingga mereka tidak berpartisipasi dalam pemilu atau mengubah pilihan mereka.
Intimidasi dapat dilakukan oleh individu atau kelompok dengan kepentingan tertentu, sering kali dengan dukungan atau toleransi dari pihak berwenang.
Penghitungan suara yang tidak transparan juga salah satu cara utama untuk memanipulasi hasil pemilu.
Manipulasi dalam proses penghitungan dan pelaporan hasil suara dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti mengubah jumlah suara, menambahkan suara palsu, atau menghilangkan suara yang sah.