Keberadaan dari berbagai kasus tersebut membuktikan bahwa Ketua KPU telah berulang kali melakukan pelanggaran etik sebagai penyelenggara pemilihan umum.
Kondisi tersebut menggambarkan ketua KPU tidak mendapatkan efek jera terhadap pelanggaran etik yang dilakukannya.
Oleh karena itu, diperlukan pengaturan baru untuk menciptakan efek jera terhadap pelanggaran etik, salah satunya adalah pemberatan hukum bagi pelanggaran etik berulang.
Konsep pemberatan hukum ada di dalam hukum pidana. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 58 dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa pengulangan tindak pidana merupakan salah satu bentuk faktor yang dapat menambah maksimal 1/3 dari ancaman pidana semestinya.
Regulasi semacam ini diperlukan untuk memastikan adanya hukuman tambahan bagi pelaku yang terbukti tidak jera melakukan pelanggaran.
Sayangnya, ketentuan seperti itu tidak ditemukan dalam regulasi pelanggaran etik penyelenggara pemilu yang diatur dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.
Pengaturan sanksi dalam peraturan tersebut terdapat pada Bab IV yang terdiri atas Pasal 21 – Pasal 23 yang menyatakan bahwa sanksi yang dikeluarkan DKPP dapat berupa teguran tertulis; pemberhentian sementara; atau pemberhentian tetap.
Pengaturan mengenai teguran tertullis sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu peringatan atau peringatan keras sebagaimana yang sudah tiga kali diberikan DKPP kepada Ketua KPU.
Di samping pengaturan mengenai jenis sanksi tersebut, tidak terdapat pengaturan mengenai unsur sanksi dalam peraturan etik lainnya, termasuk mengenai pengulangan pelanggaran etik.
Kondisi ini membuat sangat wajar terdapat logika bahwa setiap pelanggaran etik merupakan kasus yang terpisah dengan pelanggaran etik lainnya.
Hal ini membuat mayoritas sanksi yang dikeluarkan oleh DKPP adalah peringatan keras, meskipun sudah terjadi berulang kali.
Padahal, pelanggaran etik tentu memiliki peluang pengulangan yang sama saja dengan tindak pidana mengingat permasalahan pengulangan pelanggaran tidak terletak pada bentuk pelanggarannya.
Permasalahan pengulangan pelanggaran terletak pada individu yang melakukan pelanggaran tersebut karena Norma Etika dan Norma Hukum merupakan kaidah yang mengendalikan perilaku manusia dalam kehidupan bersama (Ryan Muthiara, 2021).
Oleh karena itu, pengaturan sanksi khusus mengenai pengulangan pelanggaran etika penyelenggara pemilihan umum sudah sepatutnya dibahas bersama para pejabat pemangku kepentingan sebagai upaya meningkatkan kualitas pelaksanaan pemilihan umum di masa mendatang.
Perubahan peraturan tersebut sangat mendesak untuk dilakukan karena akan berkorelasi dengan efek jera terhadap sanksi pelanggaran etik yang diberikan oleh DKPP.
Jika pengaturan ini terus dipertahankan, DKPP ke depan bisa saja tidak memiliki taji untuk menegakkan kode etik dan sanksinya tidak lagi memberikan efek jera pada penyelenggara pemilihan umum.
Hal ini dapat terjadi karena pembiaran pelanggaran etik berulang oleh penyelenggara pemilihan umum yang masih terus memungkinkannya untuk bertugas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.