JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan, desain keserentakan pemilu akan kembali menjadi bahan penyempurnaan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Menurut dia, isu ini merupakan isu kontemporer yang perlu dievaluasi setelah Pemilu 2024 digelar serentak untuk 5 jenis pemungutan suara sekaligus, yakni pilpres, pileg DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD RI.
"Kita kan selama ini bicara tentang keserentakan, keserentakan, efesiensi, dan macem-macem. Ternyata kan enggak efesien juga," kata Doli kepada wartawan pada Kamis (25/4/2024).
"Apakah memang ini yang terbaik, misalnya? Pilpres dan pileg disatukan, padahal dulu kita tahun 2014 kan itu dibedakan," lanjut dia.
Baca juga: Komisi II Sebut Presidential Threshold Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu
Berkaitan dengan hal yang sama, evaluasi juga akan dilakukan terkait penghitungan syarat pencalonan yang berbasis perolehan suara pada pemilu sebelumnya.
Sebagai contoh, dalam ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT), hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi 20 persen kursi Dewan atau 25 persen suara sah nasional yang berhak mengusung calon presiden dan wakil presiden pada pemilu berikutnya.
Imbas ketentuan ini, pada Pilpres 2024, hanya PDI-P satu-satunya partai politik yang bisa mengusung sendiri capres-cawapresnya tanpa perlu berkoalisi/bergantung dengan partai politik lain, karena mereka meraup lebih dari 20 persen kursi Senayan berdasarkan hasil Pileg DPR RI 2019.
Baca juga: Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan
"Hasil pemilu sebelumnya yang lima tahun itu dipakaI sekarang apakah itu up to date atau tidak?" tanya Doli yang notabene politikus Golkar itu.
"Jadi keserentakan itu, termasuk keserentakan dengan pilkada, itu harusnya kan kita kaji ulang," tambahnya.
Sementara itu, pakar hukum pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini pernah menyinggung usul agar desain keserentakan pemilu diubah agar beban kerja petugas pemilu bisa lebih berkurang lagi, yakni dengan membaginya menjadi pemilu serentak nasional dan lokal.
Beban petugas pemilu ini selalu menjadi sorotan, karena tingginya beban kerja bermuara pada jatuh sakit dan meninggalnya banyak petugas pemilu.
Dengan model pemilu serentak nasional-lokal, menurut Titi, pileg DPRD provinsi dan kabupaten/kota tak perlu berbarengan dengan pilpres, pileg DPR RI dan DPD RI, tetapi akan dilangsungkan bersamaan dengan jadwal pilkada.
Baca juga: Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029
"Kami menilai desain keserentakan seperti itu lebih cocok untuk Indonesia dengan jeda 2 tahun mempertimbangkan waktu seleksi penyelenggara pemilu," sebut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tersebut.
"Selama model keserentakan pemilunya masih seperti sekarang dengan kombinasi sistem pemilu proporsional terbuka untuk pemilu DPR dan DPRD, saya yakin kelelahan petugas yang berisiko sakit dan meninggal akan terus terjadi," tegasnya.
Usul yang ia sodorkan masuk dalam salah satu dari 6 model keserentakan pemilu yang termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.