BEBERAPA waktu ke belakang, fokus perhatian publik tertuju pada permohonan perselisihan hasil Pemilihan Umum Presiden (PHPU Presiden) 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan persentase kemenangan mencapai 58 persen yang diraih oleh Pasangan 02, tentu sulit membuktikan secara hasil matematis bahwa terdapat kekeliruan dalam rekapitulasi suara Pilpres yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Realita ini membuat banyak pihak yang sangsi atas kemungkinan MK mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Pasangan 01 dan 03—atau bahkan sekadar untuk memeriksa perkara ini dengan serius.
Namun, banyak pihak melupakan bahwa konsep ‘hasil pemilihan umum’ dalam Mahkamah Konstitusi bukan hanya sekadar hasil rekapitulasi suara yang dilakukan KPU Semata.
MK memperluas makna hasil pemilihan umum yang turut mencakup segala suatu pelanggaran secara Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM) dapat memengaruhi perolehan suara dalam pemilihan umum yang pertama kali muncul dalam Putusan MK Nomor 190/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Pandeglang Tahun 2010.
Sejak saat itu, terdapat berbagai permohonan PHPU, baik di tingkat nasional maupun lokal menggunakan dalil TSM untuk menggugat kemenangan pasangan lawan utamanya yang merupakan petahana atau disinyalir mendapat dukungan petahana.
Penggunaan TSM sebagai salah satu dalil kembali digunakan dalam permohonan PHPU Presiden 2024 oleh pasangan 01 dan 03.
Menurut kedua paslon tersebut, tindakan pelanggaran pemilihan umum oleh kubu 02 sudah dilakukan secara TSM dalam berbagai bentuk, mulai dari pengerahan aparat untuk memobilisasi massa agar memilih 02 sampai penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dilakukan untuk mendorong kemenangan 02.
Permasalahan penyaluran bansos tersebut menjadi polemik besar mengingat berbagai kejanggalan yang disinyalir oleh masyarakat.
Kejanggalan yang paling menjadi polemik adalah kenaikan anggaran sebesar Rp 20 Triliun pada Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dibandingkan pada APBN tahun sebelumnya.
Kondisi tersebut diperparah dengan kemasan bansos yang dituding mengarahkan pilihan masyarakat seperti tas belanja yang digunakan berwarna biru langit yang identik dengan 02 dan bahkan ada sticker 02 dalam beras bulog yang dihadirkan dalam pembuktian ke MK.
Berbagai kontroversi tersebut berujung pada pemanggilan para menteri sebagai saksi yang dihadirkan oleh Hakim MK ke muka pengadilan.
Menteri tersebut, yakni Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Muhadjir Effendy selaku Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan, dan Tri Rismaharini selaku Menteri Sosial.
Kehadiran keempat menteri di muka persidangan mendapat respons positif dari masyarakat atas keberanian Pemerintah untuk menepis tudingan ketidaknetralan yang selama ini digaungkan.
Lebih lanjut, kehadiran keempat menteri mampu menjawab dalil ‘ketidaknormalan’ dalam kenaikan alokasi APBN untuk bansos pada tahun 2024, yang dikaitkan dengan kepentingan elektoral.
Secara umum, kesaksian tersebut mampu memberikan rasionalisasi kenaikan anggaran bansos untuk mengantisipasi potensi krisis yang terjadi di Indonesia seperti di bidang pangan karena terjadinya el-nino.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Heru Susetyo (2024) bahwa orientasi utama dari bansos adalah bukan hanya menjadi instrumen kuratif untuk menyelesaikan kemiskinan, melainkan beroritentasi pula sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemiskinan.
Meskipun permasalahan kenaikan anggaran bansos dapat dijawab pemerintah, terdapat kemunculan permasalahan berupa penyaluran bansos langsung oleh Presiden yang menggunakan Dana Operasional Presiden (DOP) sebagai sumber pengeluaran.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.05/2008, DOP didefinisikan sebagai dana yang disediakan untuk menunjang kegiatan operasional berkaitan dengan representasi, pelayanan, keamanan, dan biaya kemudahan serta kegiatan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas presiden dan wakil presiden.
Pengelolaan DOP tidak dilakukan langsung oleh presiden/wakil presiden, melainkan dilakukan oleh menteri sekretaris negara.
Berdasarkan ketentuan tersebut, DOP sudah ditujukan untuk melakukan kegiatan yang bersifat spesifik antara lain: (i) representasi; (ii) pelayanan; (iii) keamanan; (iv) biaya kemudahan; dan (v) kegiatan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas presiden dan wakil presiden.
Ketentuan ini pada dasarnya telah memberikan rambu pembatasan yang jelas mengenai penggunaan DOP.
Sayangnya, ketentuan ini kemudian mengalami perubahan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.05/2008.
Keberadaan peraturan baru tersebut mengubah konsep DOP menjadi dana yang digunakan untuk menunjang kegiatan dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas Presiden dan Wakil Presiden, yang pengeluarannya dilakukan berdasarkan perintah presiden atau wakil presiden.
Ketentuan baru tersebut kembali membuat peruntukkan dari DOP menjadi tidak lagi memiliki batasan tujuan penggunaannya. Terlebih, ketentuan baru tersebut juga membuat penggunaan DOP menjadi kebijakan diskresi dari presiden semata.
Kondisi ini menjadi makin pelik karena tidak ada pembatasan mengenai tugas presiden di mana UUD 1945 hanya mengatur bahwa presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan.
Lebih lanjut, UUD 1945 hanya mengatur relasi antara presiden dengan lembaga negara lain seperti proses pembentukan undang-undang bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan kuota 3 orang hakim dalam susunan hakim Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada satupun ketentuan dalam UUD 1945 yang membatasi tugas presiden dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan.
Ketiadaan pembatasan ini membuat presiden memiliki kewenangan diskresi yang sangat besar menjalankan kekuasaan eksekutif yang dipegangnya.
Hal ini, bahkan membuat presiden memiliki kewenangan yang dimiliki oleh cabang kekuaaan di luar eksekutif seperti kewenangan untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Menurut Fitra Arsil (2018), Perppu pada berbagai negara di dunia digunakan sebagai instrumen bagi presiden untuk melakukan bypass legislation dengan memotong proses pembentukan undang-undang di parlemen sekaligus menjadi pemimpin dalam pengambilan kebijakan di parlemen.
Berdasarkan realita tersebut, penyaluran bansos oleh Presiden secara langsung pada dasarnya tidak menyalahi peraturan perundang-undangan apapun karena tidak terdapat pembatasan atas pelaksanaan tugas presiden.
Namun, penyaluran bansos tersebut menimbulkan pertanyaan lanjutan, mengapa penyaluran tersebut tidak dilakukan oleh Mensos saja sebagai ‘pembantu’ presiden untuk mengatasi isu kesejahteraan sosial dan kemanusiaan?
Belum lagi persoalan bantuan yang diberikan berbentuk sembako, padahal Mensos dan jajarannya telah memberikan bansos berupa Bantuan Langsung Tunai dengan mengirimkannya langsung ke rekening para penerima manfaat tanpa perantara.
Dengan adanya kondisi ini, wajar saja jika terdapat asumsi bahwa presiden tidak percaya bahwa Mensos telah menyalurkan bansos dengan baik dan akurat.
Asumsi tersebut muncul karena presiden mesti turun tangan langsung untuk menyelesaikan permasalahan penyaluran bansos.
Ketidakpercayaan presiden terhadap menteri yang ditunjuknya merupakan anomali dalam kabinet di sistem Pemerintahan Presidensial.
Menurut Qurrata Ayuni dan Charles Simabura (2023), presiden mengendalikan secara penuh penunjukkan menteri yang akan mengisi kabinetnya karena legitimasi antara presiden dan parlemen sama besarnya dalam sistem pemerintahan Presidensial.
Hal ini menjadi alasan mendasar untuk mempertanyakan tindakan presiden yang terus menerus memberikan bansos secara langsung dengan label ‘Bantuan Presiden Republik Indonesia’.
Tindakan ini menjadi semakin ganjil karena terdapat korelasi antara pemberian bansos dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja presiden sebagaimana yang terekam dalam berbagai jajak pendapat. Salah satunya adalah Jajak Pendapat dari Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan dalam rentang waktu 30 Desember 2023 – 6 Januari 2024.
Dalam jajak pendapat tersebut, terdapat 76,5 persen responden yang puas dengan kinerja presiden dengan rincian 15 persen sangat puas dan 61,5 persen menyatakan puas.
Survei tersebut juga menanyakan alasan responden dalam menentukan kepuasannya terhadap kinerja presiden. Dari 76,5 persen responden yang puas tersebut, 39 persen di antaranya menyatakan puas dengan kinerja presiden karena memberikan bansos pada rakyat kecil.
Dengan angkanya yang signifikan tersebut, bansos terbukti memengaruhi kepuasaan masyarakat terhadap kinerja presiden.
Pada akhirnya, pemberian bansos oleh presiden dengan menggunakan dana operasional secara tidak langsung akan menjadi contoh bagi pejabat lainnya.
Dengan alibi untuk menunjang tugas dan kewenangannya, para pejabat bisa saja akan berlomba-lomba menggelontorkan bansos menggunakan alokasi anggaran dana operasional untuk menjaga tingkat kepuasan masyarakat terhadap dirinya.
Maka dari itu, jangan heran kalau kedepannya terdapat bansos khusus dari pejabat lainnya mulai dari menteri di tingkat nasional sampai bupati/wali kota di kabupaten/kota untuk menjaga kepuasan masyarakat terhadap dirinya sekaligus memenangkan kompetisi elektoral.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.