Secara umum, kesaksian tersebut mampu memberikan rasionalisasi kenaikan anggaran bansos untuk mengantisipasi potensi krisis yang terjadi di Indonesia seperti di bidang pangan karena terjadinya el-nino.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Heru Susetyo (2024) bahwa orientasi utama dari bansos adalah bukan hanya menjadi instrumen kuratif untuk menyelesaikan kemiskinan, melainkan beroritentasi pula sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya kemiskinan.
Meskipun permasalahan kenaikan anggaran bansos dapat dijawab pemerintah, terdapat kemunculan permasalahan berupa penyaluran bansos langsung oleh Presiden yang menggunakan Dana Operasional Presiden (DOP) sebagai sumber pengeluaran.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.05/2008, DOP didefinisikan sebagai dana yang disediakan untuk menunjang kegiatan operasional berkaitan dengan representasi, pelayanan, keamanan, dan biaya kemudahan serta kegiatan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas presiden dan wakil presiden.
Pengelolaan DOP tidak dilakukan langsung oleh presiden/wakil presiden, melainkan dilakukan oleh menteri sekretaris negara.
Berdasarkan ketentuan tersebut, DOP sudah ditujukan untuk melakukan kegiatan yang bersifat spesifik antara lain: (i) representasi; (ii) pelayanan; (iii) keamanan; (iv) biaya kemudahan; dan (v) kegiatan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas presiden dan wakil presiden.
Ketentuan ini pada dasarnya telah memberikan rambu pembatasan yang jelas mengenai penggunaan DOP.
Sayangnya, ketentuan ini kemudian mengalami perubahan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.05/2008.
Keberadaan peraturan baru tersebut mengubah konsep DOP menjadi dana yang digunakan untuk menunjang kegiatan dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas Presiden dan Wakil Presiden, yang pengeluarannya dilakukan berdasarkan perintah presiden atau wakil presiden.
Ketentuan baru tersebut kembali membuat peruntukkan dari DOP menjadi tidak lagi memiliki batasan tujuan penggunaannya. Terlebih, ketentuan baru tersebut juga membuat penggunaan DOP menjadi kebijakan diskresi dari presiden semata.
Kondisi ini menjadi makin pelik karena tidak ada pembatasan mengenai tugas presiden di mana UUD 1945 hanya mengatur bahwa presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan.
Lebih lanjut, UUD 1945 hanya mengatur relasi antara presiden dengan lembaga negara lain seperti proses pembentukan undang-undang bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan kuota 3 orang hakim dalam susunan hakim Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada satupun ketentuan dalam UUD 1945 yang membatasi tugas presiden dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan.
Ketiadaan pembatasan ini membuat presiden memiliki kewenangan diskresi yang sangat besar menjalankan kekuasaan eksekutif yang dipegangnya.
Hal ini, bahkan membuat presiden memiliki kewenangan yang dimiliki oleh cabang kekuaaan di luar eksekutif seperti kewenangan untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).