PADA 20 Maret, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil resmi pemilu presiden, bahwa Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan pasangannya yang juga putra Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Gibran Rakabuming Raka, akan menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia berikutnya.
Pasangan ini memenangi Pilpres dengan perolehan suara 58,82 persen, disusul pasangan Anies Baswedan–Muhaimin Iskandar (24,49 persen) dan Ganjar Pranowo–Mahfud MD (16,68 persen).
Dengan latar belakang militernya, kebijakan pertahanan Prabowo mendapatkan banyak perhatian.
Selama periode kampanye, Prabowo berjanji akan memperkuat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan meningkatkan anggaran pertahanan, memodernisasi alutsista, dan memperkuat postur pertahanan di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar.
Namun hingga saat ini, Prabowo belum menjelaskan grand strategy penguatan TNI, khususnya dalam menjaga keutuhan wilayah Indonesia.
Pengadaan alutsista harus dilakukan untuk mendukung strategi tersebut dan bukan sebaliknya. Penting untuk menetapkan prioritas dan target yang layak agar dapat memberikan dampak jangka panjang.
Perlu juga dicatat bahwa pertahanan yang komprehensif sangat penting untuk diimplementasikan di bawah pemerintahan selanjutnya mengingat periode 2024-2040 sangat krusial dalam membentuk masa depan sektor pertahanan nasional dan juga menentukan apakah Indonesia dapat mencapai target pertahanannya saat merayakan ulang tahun ke-100 pada tahun 2045.
Pertahanan yang tangguh tidak hanya memenuhi kebutuhan operasional, tetapi juga dapat beradaptasi dengan tren warfare masa kini.
Misalnya, blokade di Laut Hitam yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina dan serangan underwater drone Houthi terhadap kapal dagang dan kapal perang di Laut Merah menunjukkan pentingnya mengembangkan kemampuan dalam mendeteksi, melacak, dan memantau aktivitas tersebut dalam domain maritim.
Bahkan wilayah maritim Indonesia, khususnya selat-selat strategisnya, sering dilintasi oleh unmanned underwater vehicle (UUV) dan autonomous underwater vehicle (UUV).
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya UUV buatan Tiongkok oleh nelayan lokal di Pulau Madura, Selayar, dan Anambas, dari tahun 2018 hingga 2021.
Dalam hal ini, mengakuisisi aset dan mengerahkan lebih banyak kapal perang ke wilayah perbatasan maritim tidaklah cukup untuk melindungi wilayah maritim negara yang sangat luas.
TNI harus mampu mengerahkan beragam asetnya secara terkoordinasi untuk melawan ancaman musuh agar dapat beroperasi secara efektif.
Oleh karena itu, meningkatkan situasional awareness terhadap wilayah maritim Indonesia yang luas sangat penting agar TNI dapat mengidentifikasi ancaman dan merespons dengan cepat.
Dengan menerapkan collaborative combat, konsep yang muncul pada awal 2000-an, angkatan bersenjata dapat mengembangkan sistem yang terkoordinasi secara efisien untuk menghadapi tantangan keamanan yang terus berkembang saat ini.