SEBELUM menuliskan kolom singkat ini, buah dari kontemplasi hukum yang belakangan ini direnungkan telah mengantarkan penulis pada kisah Raja Salomo (Sulaiman), yang terkenal akan hikmat, pengertian, dan kebijaksanaanya untuk memutuskan hukum dalam mengadili umat yang besar.
Alkisah, datanglah dua orang pelacur menghadap Raja Salomo. Keduanya mengatakan mereka tinggal dalam satu rumah, dan masing-masing memiliki bayi.
Suatu malam, salah satu dari bayi tersebut tiba-tiba meninggal, dan pelacur lainnya mengambil bayi yang masih hidup, lalu mengklaim bayi itu sebagai anaknya.
Hingar-bingar pertengkaran dari kedua pelacur di hadapan Raja Salomo membuat Sang Raja memerintahkan pegawainya mengambil sebilah pedang untuk memenggal bayi tersebut menjadi dua bagian, masing-masing “setengah bagian” untuk kedua pelacur itu.
Mendengar titah Raja begitu keras, pelacur yang merupakan ibu dari bayi yang masih hidup pun berbelas kasihan dan merelakan bayinya untuk diserahkan kepada pelacur lainnya.
Sedangkan pelacur lainnya mengatakan, “supaya jangan untukku atau untukmu, penggallah bayi itu!
Bagi penulis, sebilah pedang Raja Salomo melambangkan kuasa untuk melakukan pembelahan atau pembagian beban pembuktian berimbang dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum, termasuk untuk Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024.
Perlu disampaikan bahwa kolom ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela kepentingan pihak manapun, melainkan untuk perbaikan sistem hukum dan pembuktian kedepannya.
“Bagai pinang dibelah dua”, kedua permohonan dari Paslon 01 dan 03 berbarengan memohon agar Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, mendiskualifikasi Paslon 02, dan memerintahkan KPU melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 ini terasa makin menghangat jelang liburan panjang, tentu bukan karena diikuti oleh 3 Paslon, melainkan karena Cawapres Paslon 02 yang merupakan putra dari Presiden Jokowi maju kontestasi Pilpres dengan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang begitu kontroversial.
Meski demikian, pertimbangan hukum MK melalui Putusan No. 141/PUU-XXI/2023 (hal. 43) menyatakan bahwa tidak ada pilihan lain bagi MK untuk menegaskan bahwa Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sejalan dengan pendirian MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari Jabatannya sebagai Ketua MK karena pelanggaran etik.
Uraian dalil-dalil para pemohon, mulai dari intervensi kekuasaan, nepotisme, keterlibatan aparat negara, pengerahan kepala desa, kenaikan gaji dan tunjangan penyelenggara pemilu di momen kritis, hingga penyalahgunaan bantuan sosial pun turut menghiasi lembar demi lembar dari permohonan PHPU tersebut.
Dengan model peradilan cepat (speedy trial), perkara PHPU kembali menyisakan pertanyaan bagaimana seharusnya pembuktian hukum yang ideal, berimbang, dan berkeadilan dalam sengketa pilpres untuk perbaikan sistem hukum dan pembuktian di waktu mendatang?
Rasanya kita sudah sering mendengar postulat latin “actori in cumbit probatio” yang berkaitan dengan beban pembuktian (burden of proof).
Dalam perkara perdata, pihak yang mendalilkan mempunyai hak, meneguhkan haknya, atau membantah hak orang lain yang menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan membuktikannya (Pasal 1865 KUH Perdata).