MK tidak mungkin melampaui kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah membatasinya kewenangannya.
Kajian pada uraian di atas hanya mendasarkan kajian konteks peraturan perundang-undangan yang mengaturnya (statutory context). Pada penafsiran inilah hukum hanya dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau lebih dekat dengan kajian yuridis normatif yang pendekatannya lebih dekat dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach).
Kemudian apabila dilihat dari optik kajian kedua, yakni penafsiran hukum responsif, maka
pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres sangat mungkin dilakukan oleh Hakim Konstitusi.
Argumen tersebut bukan tanpa dasar. Metode penafsiran hukum ini bertolak dari pandangan bahwa konstitusi harus responsif terhadap perkembangan masyarakat, kebutuhan sosial yang terus berkembang perlahan-lahan (evolving) dan gagasan-gagasan mendasar tentang keadilan.
Dengan berdasar pada pemikiran itulah, maka Hakim Konstitusi tidak mengharuskan adanya pijakan hukum normatif untuk memutus pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres.
Hakim Konstitusi dapat menafsirkan melalui bukti-bukti yang ada dengan menafsirkan secara luas berdasarkan hukum atau konstitusi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law) serta dengan didasarkan pada kebutuhan keadilan masyarakat.
Dengan demikian, pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres dapat dinilai sebagai terobosan hukum yang dapat memberikan jalan keluar atas kebutuhan rasa keadilan dengan berdasarkan azas penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Selain itu, Hakim Konstitusi dapat mendalilkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara rezim Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan rezim Pilpres, sehingga dalil terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sebagaimana sering kali digunakan dalam memeriksa, mengadili dan memutus sengketa hasil Pilkada seperti yang pernah terjadi pada perselisihan hasil pemilihan (PHP) di Yalimo, Boven Digoel dan Sabu Raijua dapat dijadikan sebagai dasar Yurisprudensi untuk memutus sengketa Pilpres.
Penafsiran tersebut dapat dikategorikan sebagai penafsiran doktrinal, yaitu penafsiran yang bertolak dari penerapan preseden atau mendasarkan pada putusan-putusan pengadilan sebelumnya.
Tidak hanya itu, Hakim Konstitusi dapat memperluas makna kejahatan kampanye, pelanggaran administratif pemilu atau tidak adanya transparansi dana kampanye sebagai bagian dari kategori pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang juga dapat dijadikan dasar sebagai pendiskualifikasian paslon dalam sengketa Pilpres.
Hakim Konstitusi juga dapat menggunakan penafsiran etikal, yaitu penafsiran yang merujuk pada komitmen-komitmen moral atau ethos yang dituangkan dalam konstitusi.
Sehingga apabila ditemukan bukti-bukti berdasarkan argumentasi yang diajukan tidak sesuai dengan etika berkonstitusi dalam bernegara, maka juga dapat dijadikan dasar untuk mendiskualifikasi paslon dalam sengketa Pilpres.
Kedua optik itulah merupakan pilihan hukum terbuka bagi Hakim Konstitusi, apakah kecenderungannya menggunakan optik positivistik atau justru mengarah kepada penggunaan optik hukum responsif.
Kedua pilihan, baik optik hukum positivistik maupun optik hukum responsif bukan tanpa tantangan.
Apabila Hakim Konstitusi memilih optik hukum positivistik dalam memutus sengketa pilpres dengan menolak permohonan mendiskualifikasi paslon, maka Hakim Konstitusi akan dinilai oleh pihak Pemohon sebagai Hakim yang tidak mempertimbangkan keadilan karena hanya memperhatikan aspek formalitas dan prosedural semata.