Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Zackir L Makmur
Wartawan

Gemar menulis, beberapa bukunya telah terbit. Suka catur dan humor, tertawanya nyaring

Usulan Jokowi Jadi Ketua Koalisi: Uji Kesehatan Demokrasi

Kompas.com - 17/03/2024, 07:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUNCULNYA usulan agar Presiden Jokowi menjadi ketua koalisi partai politik telah menjadi perbincangan menarik dalam ranah politik Indonesia.

Usulan ini tidak hanya menciptakan kehebohan di kalangan elite politik, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendalam tentang dinamika politik dan kesehatan demokrasi di negara ini.

Pada dasarnya, usulan ini mencerminkan strategi politik yang cermat dari pihak-pihak yang ingin memperkuat posisi mereka dalam panggung politik.

Jokowi sebagai figur sentral dalam politik Indonesia, memiliki potensi untuk menjadi pemersatu bagi berbagai kepentingan politik yang beragam.

Dengan memimpin koalisi partai politik, Jokowi dapat mengonsolidasikan dukungan politik dan memperkuat posisinya sebagai pemimpin negara.

Namun, di balik potensi kekuatan politik yang dimiliki Jokowi, muncul pula kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kesehatan demokrasi.

Ada kekhawatiran bahwa dengan memegang jabatan ketua koalisi partai politik, Jokowi akan memiliki kendali lebih besar atas proses politik dan keputusan yang dibuat di tingkat partai.

Hal ini dapat mengarah pada konsolidasi kekuasaan yang berlebihan dan mengancam prinsip-prinsip demokrasi, seperti pembatasan kebebasan politik dan pluralisme.

Selain itu, usulan ini juga memunculkan pertanyaan tentang keadilan politik dan kesetaraan akses terhadap kekuasaan politik.

Dengan memegang jabatan presiden, Jokowi telah memiliki wewenang besar dalam mengambil keputusan politik dan mengendalikan arah kebijakan negara.

Ditambah lagi posisi ketua koalisi partai politik di atas jabatan presiden, ada potensi bahwa kekuasaan politik akan terpusat pada satu individu, hal ini bisa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang mendasar.

Usulan menjadi ketua koalisi

Di tengah gejolak persaingan politik, muncul usulan agar Presiden Jokowi menjadi ketua koalisi partai politik. Usulan ini memicu berbagai reaksi dari berbagai pihak.

Di satu sisi, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, menegaskan bahwa belum ada pembicaraan detail mengenai usulan tersebut. Pernyataannya menyoroti fokus partai politik pada rekapitulasi suara Pemilu 2024.

Namun di sisi lain, ada dukungan dari sejumlah pihak seperti Grace Natalie dari PSI dan Jeffrie Geovannie, Ketua Dewan Pembina PSI. Mereka mengusulkan agar Jokowi memimpin koalisi partai politik untuk mewujudkan visi Indonesia emas.

Namun, usulan ini tak luput dari kritik, seperti dari PKS, yang menilai tak logis dan berpotensi merusak tatanan demokrasi.

Argumen yang diajukan oleh pendukung dan penentang usulan ini mencerminkan keragaman pandangan dalam politik Indonesia.

Pendukungnya percaya bahwa kepemimpinan Jokowi dapat mempersatukan partai-partai politik, dan mengarahkan mereka menuju visi bersama untuk Indonesia lebih baik.

Namun, di sisi lain, penentangnya merasa bahwa usulan tersebut mengganggu prinsip-prinsip demokrasi. Dan berpotensi mengonsolidasikan kekuasaan secara berlebihan di tangan satu individu.

Maka implikasi dari usulan ini sangat besar tergantung pada bagaimana reaksi dan tindakan selanjutnya dari berbagai pihak.

Jika usulan tersebut diterima, ini bisa mengubah dinamika kekuatan politik di Indonesia dan mengarahkan koalisi partai politik menuju agenda bersama yang lebih terkoordinasi.

Namun, jika ditolak, hal itu dapat menciptakan ketegangan lebih lanjut di antara partai-partai politik dan memengaruhi stabilitas politik negara.

Oleh karenanya, diskusi mengenai usulan Presiden Jokowi untuk menjadi ketua koalisi partai politik mencerminkan kompleksitas politik Indonesia.

Dengan berbagai pandangan berbeda dari berbagai pihak, perdebatan ini memperlihatkan tantangan dan dinamika yang terus berkembang dalam proses politik negara besar bernama Indonesia.

Maka penting bagi pihak-pihak yang terlibat untuk mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari keputusan politik tersebut –demi kepentingan bersama dan stabilitas politik Indonesia.

Tes kesehatan Demokrasi Indonesia

Koalisi politik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses politik di Indonesia. Dalam konteks yang dinamis ini, peran koalisi politik menjadi sangat penting dalam memengaruhi kesehatan demokrasi negara.

Koalisi politik merupakan aliansi antara partai politik yang memiliki tujuan bersama untuk memperoleh kekuasaan atau mengimplementasikan kebijakan tertentu.

Dalam konteks Indonesia, terbentuknya koalisi politik seringkali menjadi strategi yang penting untuk mencapai mayoritas di parlemen atau untuk mempertahankan stabilitas pemerintahan.

Salah satu aspek penting dari koalisi politik adalah kemampuannya untuk merepresentasikan beragam kepentingan politik di masyarakat.

Dalam negara yang pluralistik seperti Indonesia, koalisi politik memungkinkan berbagai kepentingan dan pandangan politik untuk diakomodasi, sehingga mendorong inklusivitas dalam proses pembuatan keputusan.

Namun, terdapat tantangan dalam pembentukan dan pengelolaan koalisi politik yang dapat memengaruhi kesehatan demokrasi. Salah satunya adalah risiko terjadinya negosiasi yang tidak transparan, atau adanya pergeseran prinsip bagi kepentingan politik tertentu.

Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik terhadap proses politik dan partai politik itu sendiri.

Bersamaan pula bahwa koalisi politik yang terlalu rapuh, atau tidak stabil, juga dapat membahayakan kesehatan demokrasi. Ketidakstabilan koalisi politik dapat mengakibatkan pergantian kebijakan yang tidak konsisten.

Di sisi lain, koalisi politik yang kuat dan stabil dapat memberikan manfaat bagi kesehatan demokrasi. Koalisi politik yang kokoh dapat meningkatkan stabilitas pemerintahan, memfasilitasi pembuatan keputusan yang efektif, dan mempromosikan dialog politik yang konstruktif antara partai politik.

Dalam konteks Indonesia, penting untuk memperhatikan dinamika koalisi politik dalam menjaga kesehatan demokrasi.

Pembentukan dan pengelolaan koalisi politik harus didasarkan pada prinsip-prinsip demokratis, transparan, dan akuntabel, serta memperhatikan kepentingan masyarakat secara luas.

Lebih jauh, koalisi partai politik juga dapat menjadi alat yang kuat bagi diktator memperkuat kekuasaan dan menekan oposisi politik.

Meskipun koalisi politik pada dasarnya adalah aliansi antara partai politik dengan tujuan bersama, dalam konteks otoritarianisme atau diktator, koalisi seringkali dimanfaatkan untuk memperkuat kendali atas proses politik dan memastikan keberlangsungan kekuasaan.

Di Indonesia, sejarah otoritarianisme telah melibatkan penggunaan koalisi politik sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.

Pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, terbentuknya koalisi politik merupakan contoh nyata bagaimana koalisi partai politik dipakai untuk menopang rezim otoriter.

Sementara itu di tingkat global, beberapa diktator atau rezim otoriter juga memanfaatkan koalisi politik untuk memperkuat kekuasaan mereka.

Contohnya adalah rezim di negara-negara seperti Rusia, di mana partai-partai politik yang setia kepada Presiden Vladimir Putin membentuk koalisi untuk mempertahankan kontrol pemerintahan.

Namun demikian, penting untuk diingat bahwa koalisi partai politik juga dapat menjadi alat untuk menentang diktatorisme dan otoritarianisme.

Dalam beberapa kasus, koalisi politik yang terbentuk di antara partai-partai oposisi, atau yang mengusung agenda demokratis, mampu menggulingkan rezim otoriter dan memulai transisi menuju demokrasi. Contohnya adalah Revolusi Oranye di Ukraina pada 2004.

Dengan demikian, koalisi partai politik dapat menjadi instrumen kekuasaan bagi diktator di Indonesia dan di dunia, mereka juga memiliki potensi sebagai alat untuk mengakhiri otoritarianisme dan memperjuangkan demokrasi.

Dalam konteks politik Indonesia yang kompleks, pertanyaan tentang pembentukan koalisi politik menjadi semakin penting dalam upaya menjaga kesehatan demokrasi.

Di tengah dinamika konstelasi politik yang berubah-ubah, terdapat dua pendekatan yang perlu dipertimbangkan: pembentukan koalisi besar yang melibatkan berbagai partai politik, atau pembentukan koalisi yang lebih terfokus dan logis.

Dari perspektif konstelasi politik di Indonesia, di mana Indonesia sebagai negara demokratis yang pluralistik, maka Indonesia memiliki spektrum politik yang beragam dengan partai-partai politik yang mewakili berbagai kepentingan dan pandangan.

Dalam situasi ini, pembentukan koalisi besar seringkali dianggap sebagai upaya untuk mencerminkan keberagaman politik. Namun, dalam konteks demokrasi di Indonesia, ada tantangan terkait pembentukan koalisi besar yang patut dipertimbangkan.

Salah satunya adalah risiko pembentukan koalisi yang terlalu luas dan heterogen, yang dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan kesulitan dalam pembuatan keputusan efektif.

Selain itu, koalisi besar juga rentan terhadap konflik internal dan perpecahan, yang dapat mengancam kesehatan demokrasi secara keseluruhan.

Di sisi lain, pembentukan koalisi yang lebih terfokus dan logis juga dapat menjadi alternatif menarik. Koalisi logis bertujuan menggabungkan partai-partai politik yang memiliki visi dan agenda politik serupa, atau saling melengkapi.

Dalam situasi demikian, fokus utamanya adalah pada kesamaan tujuan politik yang diinginkan, sehingga memungkinkan terciptanya konsistensi dalam pembuatan keputusan politik.

Sehingga pembentukan koalisi logis dapat memiliki potensi untuk meningkatkan stabilitas politik di Indonesia.

Dengan memiliki visi dan agenda politik yang serupa, koalisi logis dapat bekerja sama secara harmonis untuk mencapai tujuan bersama dengan lebih efisien.

Ini dapat menghasilkan pemerintahan stabil dan kohesif, yang pada gilirannya mendukung kesehatan demokrasi dengan memastikan kontinuitas dalam pembuatan keputusan politik.

Kendati begitu, ada pula kekhawatiran terkait pembentukan koalisi logis yang terlalu sempit dan eksklusif.

Koalisi logis yang terlalu fokus pada satu pandangan politik tertentu, dapat mengabaikan kepentingan dan pandangan politik yang berbeda dalam masyarakat, sehingga mengurangi pluralitas dan representasi dalam proses politik.

Dengan demikian, dalam mempertimbangkan apakah sebaiknya koalisi besar atau koalisi logis yang dibentuk demi kesehatan demokrasi di Indonesia, penting untuk memperhitungkan konteks politik dan tujuan yang diinginkan.

Sementara koalisi besar dapat mencerminkan keberagaman politik yang ada, koalisi logis dapat menghasilkan stabilitas politik yang lebih besar.

Dalam praktiknya, pendekatan yang ideal mungkin adalah menggabungkan elemen-elemen dari kedua pendekatan tersebut, dengan mempertahankan kesamaan tujuan politik yang kuat sambil tetap mengakomodasi keberagaman pandangan politik dalam masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mensos Risma Minta Data Penerima Bansos Ditetapkan Tiap Bulan untuk Hindari Penyimpangan

Mensos Risma Minta Data Penerima Bansos Ditetapkan Tiap Bulan untuk Hindari Penyimpangan

Nasional
Jokowi Pastikan Perpanjang Izin Ekspor Konsentrat Tembaga PT Freeport

Jokowi Pastikan Perpanjang Izin Ekspor Konsentrat Tembaga PT Freeport

Nasional
Risma Ingatkan Kepala Dinsos se-Indonesia, Jangan Rapat Bahas Fakir Miskin di Hotel

Risma Ingatkan Kepala Dinsos se-Indonesia, Jangan Rapat Bahas Fakir Miskin di Hotel

Nasional
Kasus Korupsi Rumdin, KPK Cecar Kabag Pengelola Rumah Jabatan DPR soal Aliran Dana ke Tersangka

Kasus Korupsi Rumdin, KPK Cecar Kabag Pengelola Rumah Jabatan DPR soal Aliran Dana ke Tersangka

Nasional
KPU Sebut Pemindahan 36.000 Suara PPP ke Garuda di Jabar Klaim Sepihak, Harus Ditolak MK

KPU Sebut Pemindahan 36.000 Suara PPP ke Garuda di Jabar Klaim Sepihak, Harus Ditolak MK

Nasional
Ketua KPU Ditegur Hakim saat Sidang Sengketa Pileg di MK: Bapak Tidur, Ya?

Ketua KPU Ditegur Hakim saat Sidang Sengketa Pileg di MK: Bapak Tidur, Ya?

Nasional
Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis Disebut Diperlukan, Proyek Mercusuar Perlu Pengawasan

Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis Disebut Diperlukan, Proyek Mercusuar Perlu Pengawasan

Nasional
Kapolri Beri Penghargaan ke 11 Personel di Pegunungan Bintang, Papua

Kapolri Beri Penghargaan ke 11 Personel di Pegunungan Bintang, Papua

Nasional
Pegawai Kementan Bikin Perjalanan Dinas Fiktif demi Penuhi Kebutuhan SYL

Pegawai Kementan Bikin Perjalanan Dinas Fiktif demi Penuhi Kebutuhan SYL

Nasional
Sidang SYL, Saksi Ungkap Permintaan Uang Rp 360 Juta untuk Sapi Kurban

Sidang SYL, Saksi Ungkap Permintaan Uang Rp 360 Juta untuk Sapi Kurban

Nasional
Hadiri Perayaan Ultah Hendropriyono, Prabowo Dihadiahi Patung Diponegoro

Hadiri Perayaan Ultah Hendropriyono, Prabowo Dihadiahi Patung Diponegoro

Nasional
Menag Minta Jemaah Jaga Kesehatan, Suhu Bisa Capai 50 Derajat Celsius pada Puncak Haji

Menag Minta Jemaah Jaga Kesehatan, Suhu Bisa Capai 50 Derajat Celsius pada Puncak Haji

Nasional
Tinjau Pasar Baru di Karawang, Jokowi: Harga Cabai, Bawang, Beras Sudah Turun

Tinjau Pasar Baru di Karawang, Jokowi: Harga Cabai, Bawang, Beras Sudah Turun

Nasional
KPK Sebut Eks Dirut Taspen Kosasih Rekomendasikan Investasi Rp 1 T

KPK Sebut Eks Dirut Taspen Kosasih Rekomendasikan Investasi Rp 1 T

Nasional
Hakim MK Tegur Kuasa Hukum KPU karena Tidak Rapi Menulis Dokumen

Hakim MK Tegur Kuasa Hukum KPU karena Tidak Rapi Menulis Dokumen

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com