Ini menyangkut kalkulasi ke depan. Jokowi amat sadar bahwa dunia politik, sebagai mana pengalaman empirik selama ini, adalah dunia yang padat dengan intrik dan intimidasi.
Sesak dengan akal-akalan. Berlimpah dengan pola sikut menyikut dan segala bentuk kecurangan lainnya. Tidak ada kepastian. Semuanya bisa jadi samar dan saru.
Jokowi tahu betul betapa rentan posisi diri dan keluarganya kelak, ketika ia tidak lagi jadi presiden. Putra dan dirinya tidak memiliki partai yang menopang. Ia dan putranya bisa saja dioleng dan dihempaskan secara politik.
Karena itu, Jokowi sangat membutuhkan partai yang menjadi benteng pertahanan diri dan dinastinya kelak. Malah, ia membutuhkan partai untuk jadi kendaraan mencapai tujuan-tujuan lain di masa depan.
Lalu, ada yang berpandangan bahwa Gibran hanya Wakil Presiden, cukup duduk manis saja, tak ada risiko. Toh Budiono dan Kiai Ma’ruf Amin menjadi Wapres tanpa partai.
Perbandingan ini cenderung sewenang-wenang. Kualitas individu Budiono dan Kiai Ma’ruf, tidak bisa dibandingkan dengan Gibran.
Budiono adalah seorang guru besar, pakar ekonomi yang mumpuni dan bertengger di pentas nasional cukup lama, sebelum jadi Wapres.
Reputasi dan posisi Pak Kiai Ma’ruf Amin dalam pentas nasional, juga sangat terhormat. Status keulamaannya tak pernah disoal, apalagi digugat.
Ia memiliki basis organisasi sosial keagamaan yang sangat mendukung, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Ia pernah memimpin Majelis Ulama. Pak Kiai Ma’ruf Amin juga berlatar belakang sebagai orang partai.
Saya yakin, keinginan Jokowi untuk mengambil Partai Golkar sebelum dirinya lengser, dan sebelum pembentukan kabinet baru kelak, adalah ikhtiarnya untuk membangun otot sahwat kekuasaan agar ia memiliki leverage atau posisi bargain yang kuat guna melakukan transaksi dan barter kekuasaan kelak.
Lalu, kita pun diberi peluang untuk menebak-nebak, jangan-jangan kenaikan pangkat Prabowo Subianto menjadi jenderal penuh, adalah bagian dari perencanaan barter kuasa tersebut? Wallahu Alam Bissawab.
Bila skenario ini memang benar adanya di kemudian hari, maka dengan mudah kita membenarkan asumsi bahwa ada keterkaitan antara kenaikan perolehan suara Partai Golkar pada pemilu kali ini, dengan keinginan Jokowi mengambil partai tersebut.
Asumsi ini lahir dengan fakta statistik, bahwa partai-partai politik lain yang mapan, cenderung stagnan, malah ada yang menurun, seperti PDI-P.
Lalu, di saat yang sama, Partai Golkar mendulang kenaikan presentase perolehan suara yang sangat mengagetkan.
Masalahnya, prediksi banyak orang sebelum pemilu diselenggarakan, perolehan suara partai beringin ini, akan mengalami kemerosotan karena kepemimpinan Airlangga Hartarto dinilai kurang memperhatikan para kader dan pengurus di daerah-daerah.