Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Tanduk Banteng Tak Patah

Kompas.com - 19/02/2024, 08:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Rupanya masyarakat cenderung melihat pilpres dan pileg tak harus linier. Dua hal berbeda, tak harus ditanggapi dengan cara yang sama.

Pertempuran sengit Pileg 2024 nyaris tak berbeda dengan pileg sebelumnya. Bukan antarparpol, melainkan antarcalon dari parpol yang sama. Ini merupakan konsekuensi dari sistem proporsional terbuka.

Mereka pada umumnya bertempur pada ceruk suara yang sama. Namun, meski antarcalon bertempur, secara akumulatif perolehan suara bermuara pada suara partai.

Artinya, daya tempur calon-calon anggota legislatif parpol tersebut merupakan faktor penting perolehan suara partai.

Sepekan sebelum coblosan, saya menemukan kasus yang menjadi inti bahasan tulisan ini. Saya berjumpa dengan komunitas yang mengaku akan memilih pasangan Prabowo-Gibran untuk pilpres. Komunitas tersebut merupakan pemilih Jokowi pada Pilpres 2019.

Namun, untuk DPR, mereka mengaku akan memilih calon dari PDIP, sebagaimana Pemilu 2019. Bukan memilih calon dari Partai Gerindra yang capresnya hendak dipilih. Pun bukan calon dari PSI yang mengklaim partainya Jokowi.

Mereka memilih pasangan Prabowo-Gibran dengan sejumlah alasan. Begitu pula memilih calon dari PDIP, bukan Partai Gerindra, bukan pula PSI, dengan berbagai alasan.

Saya membaca alasan-alasan tersebut berhubungan dengan modalitas politik yang dikuasai masing-masing dan bekerja untuk memengaruhi pilihan.

Saya menduga, modalitas politik yang dikuasai calon dari PDIP itu tak cukup ampuh untuk mengubah pilihan komunitas tersebut dari pasangan Prabowo-Gibran ke pasangan Ganjar-Mahfud.

Pilihan rasionalnya lalu “mengikhlaskan” pasangan Ganjar-Mahfud tak dipilih. Tapi, untuk pileg tetap memilih PDIP.

Saya yakin kasus “dilematis” seperti itu banyak sekali. Boleh jadi sebagian besar kader PDIP menghadapinya, terutama di wilayah yang dikenal sebagai “kandang banteng”.

Masuk akal bila operasi politik Jokowi dengan modalitas politik yang ampuh diutamakan di “kandang banteng”. Di sinilah basis elektoral pasangan Ganjar-Mahfud.

Dengan strategi baru tersebut para kader dan calon anggota legislatif dari PDIP berhasil mencegah perluasan dampak elektoral pisah jalan antara Megawati dan Jokowi.

Meski kalah pada kontestasi pilpres, tapi PDIP tetap juara pertama pada kontestasi pileg. Banteng tetap berpeluang memimpin parlemen.

Pelajaran penting bahwa kontestasi pileg membutuhkan kader-kader parpol yang benar-benar menguasai lapangan politik dan punya daya tempur hebat. Bukan sekadar jualan citra orang lain.

Relasi kuat antara kader parpol dan masyarakat pemilih membentuk konstituen politik dan basis elektoral. Di sinilah PDIP teruji ketangguhannya. Meski tanpa Jokowi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com