Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Tanduk Banteng Tak Patah

Kompas.com - 19/02/2024, 08:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dugaan saya ternyata meleset. Migrasi suara tak terjadi. Perolehan suara PSI berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei tak seperti yang diharapkan.

Penempatan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum PSI dan klaim “PSI Partai Jokowi” tak membuahkan hasil yang spektakuler. Tak ada migrasi besar-besaran pengikut Jokowi ke PSI. Migrasi pemilih pada pilpres tak diikuti migrasi pada pileg.

Tuah Jokowi ternyata tak cukup ampuh untuk menarik PSI masuk parlemen. Suara PSI hanya 2,81 persen versi Litbang Kompas. Tak memenuhi ambang batas parlemen sebesar 4 persen.

Pisah jalan antara Megawati dan Jokowi ternyata hanya memengaruhi konstelasi pilpres. Relatif tak memengaruhi konstelasi pileg.

Strategi baru

Bisa mengerti bahwa langkah politik Jokowi mengejutkan dan sangat memukul kader-kader PDIP di lapangan, terutama yang hendak berlaga di pileg. Tak ada pilihan lain, mereka harus bergerak dengan strategi baru.

Arahan Megawati untuk memenangkan pasangan Ganjar-Mahfud lalu diterjemahkan sesuai dengan perubahan situasi lapangan atau konstelasi politik daerah pemilihan (dapil).

Beberapa kali saya berdiskusi dengan calon anggota legislatif dari PDIP. Mereka bercerita bahwa mau tak mau harus menghitung dampak elektoral langkah politik Jokowi di dapil.

Mereka melihatnya sebagai tantangan baru dapil. Mereka harus bertempur dengan tantangan baru dapil yang berubah.

Mereka lalu menghitung ulang modalitas politik (sumber daya) yang dikuasainya dihadapkan dengan tantangan baru yang sebelumnya tak pernah diperhitungkan.

Dari pengamatan saya, kader-kader PDIP, terutama para calon anggota legislatif, cenderung memilih strategi penyelamatan suara partai sebagai hal utama. Modalitas politik yang dikuasainya lalu dioptimalkan untuk menyelamatkan suara partai.

Hal itu berbeda dengan saat sebelum terjadi keretakan hubungan antara Megawati dan Jokowi. Dengan antusias para kader PDIP berbicara pemenangan pilpres dengan kata kunci “keberlanjutan”.

Pemenangan pilpres sebagai hal utama demi keberlanjutan kebijakan pemerintahan Jokowi. Pemenangan pileg mengikuti.

Pileg harus pula dimenangkan, karena pemerintahan membutuhkan dukungan legislatif. Begitulah logika sederhananya.

Saya melihat perubahan strategi lapangan merupakan pilihan rasional. Dampak elektoral langkah politik Jokowi harus dicegah, diperkecil. Dampak elektoralnya bisa pada pilpres sekaligus pileg.

Sementara itu, modalitas politik (sumber daya) Jokowi dengan menjabat presiden tentu saja bukan kaleng-kaleng. Modalitas politik Jokowi komplit (modal politik, sosial, ekonomi) untuk menyokong kemenangan pasangan 02.

Jokowi dapat merancang bantuan sosial (bansos). Ia juga bisa mengendalikan jaringan aparat pemerintah hingga tingkat desa. Juga punya kuasa menggerakkan kepolisian, tentara, dan pejabat negara. Ia bisa pula memobilisasi sumber-sumber pendanaan politik.

Perubahan situasi lapangan berlangsung relatif cepat menjelang akhir 2023. Diduga karena modalitas politik Jokowi sudah bekerja efektif.

Sementara itu, isu cacat etik yang menyertai pasangan nomor urut 02, yang dikecam banyak kalangan, tak laku di semua lapisan masyarakat. Isu tersebut hanya ditanggapi lapisan terbatas.

Yang menarik, perubahan situasi lapangan relatif hanya terlangsung di pilpres. Situasi pileg relatif tak berubah.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com