Budaya demokrasi yang cenderung feodal ini memang menargetkan kaum-kaum yang memang terbelakang secara ekonomi dan pendidikan, sehingga membuat si pemberi terasa sebagai seorang malaikat.
Tidak melulu berbentuk uang, ada pula yang mengandalkan bantuan sosial berupa sembako, yang kadang juga menggunakan program dari pemerintah (bukan dari kantong pribadi), sebagai alat untuk mendongkrak suara di daerah pemilihan.
Masyarakat pun banyak yang menerima “bantuan” semacam ini tanpa mau tahu dari mana datangnya sumber dana pengadaannya. Kembali lagi, terima saja dulu.
Pengamatan penulis di lapangan akan fenomena ini menegaskan bahwa masyarakat kita memang tipe orang yang sangat pragmatis, tidak hanya elite, namun juga warga dengan kemampuan ekonomi menengah kebawahnya.
Plutokrasi akhirnya menempatkan pebisnis dengan kekuatan kapital yang sangat dominan berada pada posisi struktur lembaga politik tertentu tanpa memandang ideologi lembaga ataupun latar belakang ideologis sang politisi tersebut.
Misalnya, seseorang dengan modal besar, yang semula tidak berpenampilan agamis, tiba-tiba menjadi petinggi di partai berideologi kanan agamis.
Hal ini memang sah-sah saja, tapi semakin mengonfirmasi dominannya tantangan terbesar dalam menjalankan roda kepartaian: ongkos kampanye.
Semua yang memiliki ideologi tertentu, pada akhirnya akan dihadapkan pada situasi pragmatis (termasuk masalah biaya operasional partai), demi meraih tujuan di lingkungan kekuasaan.
Maka tidak heran, segala kondisi keterpaksaan berperilaku pragmatis, serta banyaknya modal yang dikeluarkan menghasilkan motivasi politik jangka pendek yang intinya adalah: “yang penting menang”.
Apapun ideologi politiknya, penulis menemukan bahwa “menang” adalah inti tujuannya.
Demokrasi turun derajatnya, di mana tidak lagi dipandang sebagai jembatan demi mendengar aspirasi semua orang, namun lebih dominan kepada jembatan bagi satu individu atau kelompok demi meraih cita-cita kekuasaan.
Hal ini mempertegaskan indeks demokrasi Indonesia yang pada tahun 2022 lalu digolongkan oleh The Economist Group sebagai flawed democracy (demokrasi cacat).
Pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan secara adil dan bebas, namun memiliki masalah pada aspek-aspek kelembagaan maupun budaya demokrasinya.
Apabila budaya demokrasi yang terlalu pragmatis seperti ini masih dipelihara oleh para politisi dan masyarakat kita, tentunya akan menggerus cita-cita ideologis bangsa Indonesia yang sudah tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.