Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

"Yang Penting Menang"

Kompas.com - 13/02/2024, 06:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAI seorang perwira militer aktif, khususnya di lingkungan TNI Angkatan Udara, netralitas dalam politik memang harga mutlak.

Namun, meskipun tidak memiliki hak pilih, perjalanan menjadi ajudan seorang menteri banyak membuka mata dan pikiran penulis tentang berbagai realita kehidupan bernegara, termasuk tentang bagaimana pola pikir para politisi di negara kita.

Penulis mendapatkan kesempatan selama beberapa tahun mengamati secara empiris interaksi antarelite politik di lingkungan pemerintahan, serta di lingkungan partai politik. Dan kesimpulannya memang, miris.

Mengapa demikian? Politik di negara demokrasi baru seperti Indonesia bukanlah sesuatu yang penuh dengan idealisme, tetapi justru penuh dengan pragmatisme dan dicengkram oleh plutokrasi.

Di sini, penulis tidak bermaksud untuk menyudutkan satu pihak tertentu, tetapi hanya menggambarkan kondisi nyata yang terjadi dalam perpolitikan negara kita.

Film dokumenter “Dirty Vote” yang baru saja dirilis pada hari tenang sebelum hari pencoblosan dimulai sedikit menggelitik saya untuk menulis artikel ini.

Pertama, mengapa pragmatis? Sekilas memang berbagai aktor politik ataupun lembaga-lembaga yang menaunginya, dalam hal ini partai politik, memang mewakili suatu identitas ataupun ideologi tertentu.

Ada yang berhaluan ideologi kanan keagamaan, tengah atau moderat, atapun kiri yang lebih progresif.

Namun, semua ideologi dan paham yang dianut partai-partai tersebut, yang seperti menjadi representasi bagi sebagian atau sekelompok masyarakat tertentu, kini menjadi tidak relevan ketika dihadapkan pada suatu fase dalam kontestasi elektoral, yaitu: pembentukan koalisi.

Adanya ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang mengharuskan suatu partai atau gabungannya hanya dapat mencalonkan capres dan cawapres jika melewati perolehan kursi paling sedikit 20 persen di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional seperti memaksa seluruh partai politik melakukan hubungan yang sifatnya “transaksional”.

Ada yang bergabung dengan partai ini, partai itu, dan ada pula yang percaya diri mencalonkan presiden dari partainya sendiri tanpa berusaha membangun sebuah koalisi.

Situasi ini menciptakan kesan bahwa lembaga maupun aktor politik yang memiliki idealisme tertentu, tetapi kurang suara pada pemilu sebelumnya, terpaksa harus menjalani serangkaian lobi-lobi guna memuluskan agenda politiknya.

Apa agendanya? Tentu saja posisi jabatan. Ada yang ingin jadi mendapatkan posisi ketua di lembaga legislatif, menteri, ataupun kekuasaan tertinggi di eksekutif, yakni presiden dan wakil presiden.

Dapat dikatakan, lobi-lobi internal antarpartai ataupun perseorangan semacam inilah yang sebenarnya luput dari perhatian masyarakat dan sangat berbahaya.

Mengapa? Karena pembicaraan ini tidak dilaksanakan secara terbuka dan hanya melibatkan pertemuan tertutup antar elite. Akibatnya, kepentingan rakyat dan masyarakat luas luput dalam pembahasan pembentukan koalisi.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

MA Perintahkan KPU Cabut Aturan Batas Usia Calon Kepala Daerah

MA Perintahkan KPU Cabut Aturan Batas Usia Calon Kepala Daerah

Nasional
RSUD di Musi Rawas Utara Kekurangan Listrik, Jokowi Langsung Telepon Dirut PLN

RSUD di Musi Rawas Utara Kekurangan Listrik, Jokowi Langsung Telepon Dirut PLN

Nasional
Politik Uang: Sanderaan Demokrasi

Politik Uang: Sanderaan Demokrasi

Nasional
Tinjau RSUD Rupit, Jokowi Senang Tak Ada Keluhan Kurang Dokter Spesialis

Tinjau RSUD Rupit, Jokowi Senang Tak Ada Keluhan Kurang Dokter Spesialis

Nasional
Kemenlu: 14 WNI Ditangkap Kepolisian Hong Kong, Diduga Terlibat Pencucian Uang

Kemenlu: 14 WNI Ditangkap Kepolisian Hong Kong, Diduga Terlibat Pencucian Uang

Nasional
Jokowi Minta Polri Transparan Usut Kasus 'Vina Cirebon'

Jokowi Minta Polri Transparan Usut Kasus "Vina Cirebon"

Nasional
Hakim MK Bingung Saksi Parpol yang Diusir KPPS Tak Punya Surat Presiden

Hakim MK Bingung Saksi Parpol yang Diusir KPPS Tak Punya Surat Presiden

Nasional
Nayunda Jadi Honorer Kementan Masuk Kerja 2 Hari, tapi Digaji Setahun

Nayunda Jadi Honorer Kementan Masuk Kerja 2 Hari, tapi Digaji Setahun

Nasional
Komisi III DPR Sebut Usia Pensiun Polri Direvisi agar Sama dengan ASN

Komisi III DPR Sebut Usia Pensiun Polri Direvisi agar Sama dengan ASN

Nasional
Jokowi Teken Susunan 9 Nama Pansel Capim KPK

Jokowi Teken Susunan 9 Nama Pansel Capim KPK

Nasional
Minta Intelijen Petakan Kerawanan Pilkada di Papua, Menko Polhukam: Jangan Berharap Bantuan dari Wilayah Lain

Minta Intelijen Petakan Kerawanan Pilkada di Papua, Menko Polhukam: Jangan Berharap Bantuan dari Wilayah Lain

Nasional
Antisipasi Konflik Israel Meluas, Kemenlu Siapkan Rencana Kontigensi

Antisipasi Konflik Israel Meluas, Kemenlu Siapkan Rencana Kontigensi

Nasional
Cak Imin Sebut Dukungan Negara Eropa untuk Palestina Jadi Pemantik Wujudkan Perdamaian

Cak Imin Sebut Dukungan Negara Eropa untuk Palestina Jadi Pemantik Wujudkan Perdamaian

Nasional
Polri Ungkap Identitas Anggota Densus 88 yang Buntuti Jampidsus, Berpangkat Bripda

Polri Ungkap Identitas Anggota Densus 88 yang Buntuti Jampidsus, Berpangkat Bripda

Nasional
Revisi UU Polri, Polisi Bakal Diberi Wewenang Spionase dan Sabotase

Revisi UU Polri, Polisi Bakal Diberi Wewenang Spionase dan Sabotase

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com