Bertahun-tahun pada zaman Orde Baru warga Tionghoa tak boleh merayakan Imlek secara terbuka di ruang publik. Tak ada semarak Imlek.
Larangan tersebut dilakukan Orde Baru melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Secara tekstual pemerintah Orde Baru beralasan bahwa kebudayaan Tionghoa dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moral yang tidak wajar bagi warga negara Indonesia.
Namun, secara kontesktual, larangan tersebut berdimensi politis. Peristiwa Oktober 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dugaan keterlibatan Tiongkok menjadi penyebabnya.
Dampak tuduhan keterlibatan Tiongkok sangat serius. Aksi-aksi demonstrasi awal Orde Baru menyasar pula kelompok Tionghoa. Beberapa kantor perwakilan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi sasaran amuk massa.
Dengan Inpres Nomor 14 Tahun 1967, pemerintah Orde Baru melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaan dan tradisi Tionghoa secara terbuka di Indonesia.
Larangan itu juga menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa (Konghucu), tidak berstatus pemeluk agama yang diakui.
Padahal, tradisi Tionghoa masuk ke wilayah Nusantara diperkirakan bersamaan dengan migrasi manusia dari wilayah selatan Cina ke Asia Tenggara ratusan tahun lalu. Artinya, tradisi Tionghoa sudah menjadi bagian dari masyarakat Nusantara jauh sebelum Indonesia digagas.
Bahkan, proses pembentukan bangsa Indonesia tak sedikit pula kontribusi warga Tionghoa. Perbincangan tentang “bangsa” yang dilakukan oleh para tokoh pergerakan nasional awal abad ke-20 sebagian melalui surat kabar terbitan orang-orang Tionghoa.
Namun, arus balik terjadi pasca-Orde Baru. Banyak kebijakan Orde Baru dikoreksi. Dan, koreksi paling penting bagi warga Tionghoa tentu saja pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 oleh pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid – Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sebagai seorang demokrat sejati, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentu saja sangat mengerti penderitaan warga Tionghoa selama tiga puluh tahun akibat kebijakan diskriminatif Orde Baru.
Maka, pada Januari 2000, Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Selaku presiden, Gus Dur menjamin bahwa semua warga Tionghoa dapat menjalankan praktik-praktik kebudayaan dan religinya secara bebas di Indonesia.
Presiden pertama hasil Pemilu 1999 era reformasi itu juga mengakui secara resmi agama Konghucu. Agama yang diakui negara menjadi enam: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Perayaan Imlek 5 Februari 2000, menjadi perayaan pertama secara terbuka setelah sejak 1967 dilarang penguasa Orde Baru. Kita bisa merasakan kesukacitaan dan kebahagiaan warga Tionghoa saat itu.