Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Merayakan Imlek: Mengingat Gus Dur dan Megawati

Kompas.com - 10/02/2024, 10:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA tahun belakangan, seorang kawan saya selalu berkirim kue keranjang setiap menjelang Tahun Baru Imlek. Kawan ini berdarah Tionghoa yang berprofesi sebagai dosen.

Biasanya kue keranjang dikirim lewat jasa pengiriman. Namun, Rabu kemarin lain. Kue keranjang dibawa sendiri ke ruang kerja saya.

Sambil meletakkan kue keranjang di meja, kawan itu mengatakan sesuatu yang membuat saya menulis esai ini.

“Dulu kami harus menyembunyikan kebahagiaan saat Imlek karena politik. Tapi, sekarang kami merdeka merayakan Imlek juga karena politik,” ujarnya.

Saya tidak berkomentar apa-apa. Saya tidak tahu maksud kalimat tersebut dituturkan. Mungkin karena udara politik Tanah Air akhir-akhir ini lagi hangat, sehingga banyak hal yang berelasi dengan politik, atau endapan masa lalu, terefleksikan.

Saya tersenyum, lalu berdiri. ”Selamat merayakan Imlek,” ucap saya sambil menjabat tangannya. Kawan saya itu lalu pamit.

Kalimat singkat tersebut langsung membawa ingatan kepada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri. Saat menjabat presiden, mereka punya peran sangat besar dalam membahagiakan warga Tionghoa.

Bagi warga Tionghoa, merayakan Imlek merupakan peristiwa kebudayaan terpenting. Bukan hanya merefleksikan urusan duniawi (material), tapi juga urusan spiritual (imaterial).

Tahun Baru Imlek jatuh pada Sabtu, 10 Februari 2024. Namun, suasana menyambut Imlek sudah terasa sejak beberapa hari sebelumnya.

Semarak Imlek bukan hanya dirasakan warga Tionghoa. Warga masyarakat lain pun merasakannya.

Semarak Imlek tentu saja berdampak besar secara ekonomi. Perayaan Imlek dengan tradisi khas berelasi dengan kegiatan produksi dan konsumsi yang menjadi inti perekonomian.

Banyak kalangan memperoleh manfaat. Bukan hanya warga Tionghoa, tapi juga warga yang lain. Begitulah perayaan yang menyatukan antara agama dan kebudayaan.

Imlek merupakan hari yang ditunggu-tunggu dan penuh keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa. Mereka menyambutnya dengan suka cita, penuh kebahagiaan. Berbagai sajian tradisi khas menandai kesukacitaan dan kebahagiaan itu.

Imlek berelasi pula dengan leluhur yang telah meninggal dunia. Maka, tradisi Imlek juga berisi persembahyangan untuk leluhur.

Karena itu, saya sangat mengerti dan bisa merasakan tatkala kesukacitaan dan kebahagiaan perayaan Imlek harus disembunyikan.

Bertahun-tahun pada zaman Orde Baru warga Tionghoa tak boleh merayakan Imlek secara terbuka di ruang publik. Tak ada semarak Imlek.

Larangan tersebut dilakukan Orde Baru melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.

Secara tekstual pemerintah Orde Baru beralasan bahwa kebudayaan Tionghoa dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moral yang tidak wajar bagi warga negara Indonesia.

Namun, secara kontesktual, larangan tersebut berdimensi politis. Peristiwa Oktober 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dugaan keterlibatan Tiongkok menjadi penyebabnya.

Dampak tuduhan keterlibatan Tiongkok sangat serius. Aksi-aksi demonstrasi awal Orde Baru menyasar pula kelompok Tionghoa. Beberapa kantor perwakilan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi sasaran amuk massa.

Dengan Inpres Nomor 14 Tahun 1967, pemerintah Orde Baru melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaan dan tradisi Tionghoa secara terbuka di Indonesia.

Larangan itu juga menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa (Konghucu), tidak berstatus pemeluk agama yang diakui.

Padahal, tradisi Tionghoa masuk ke wilayah Nusantara diperkirakan bersamaan dengan migrasi manusia dari wilayah selatan Cina ke Asia Tenggara ratusan tahun lalu. Artinya, tradisi Tionghoa sudah menjadi bagian dari masyarakat Nusantara jauh sebelum Indonesia digagas.

Bahkan, proses pembentukan bangsa Indonesia tak sedikit pula kontribusi warga Tionghoa. Perbincangan tentang “bangsa” yang dilakukan oleh para tokoh pergerakan nasional awal abad ke-20 sebagian melalui surat kabar terbitan orang-orang Tionghoa.

Namun, arus balik terjadi pasca-Orde Baru. Banyak kebijakan Orde Baru dikoreksi. Dan, koreksi paling penting bagi warga Tionghoa tentu saja pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 oleh pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid – Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.

Sebagai seorang demokrat sejati, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentu saja sangat mengerti penderitaan warga Tionghoa selama tiga puluh tahun akibat kebijakan diskriminatif Orde Baru.

Maka, pada Januari 2000, Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.

Selaku presiden, Gus Dur menjamin bahwa semua warga Tionghoa dapat menjalankan praktik-praktik kebudayaan dan religinya secara bebas di Indonesia.

Presiden pertama hasil Pemilu 1999 era reformasi itu juga mengakui secara resmi agama Konghucu. Agama yang diakui negara menjadi enam: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Perayaan Imlek 5 Februari 2000, menjadi perayaan pertama secara terbuka setelah sejak 1967 dilarang penguasa Orde Baru. Kita bisa merasakan kesukacitaan dan kebahagiaan warga Tionghoa saat itu.

Berbagai atraksi dan pernak-pernik khas Imlek kembali menyemarakkan Imlek. Kelenteng-kelenteng kembali semarak. Bahkan, atraksi kesenian barongsai pada perayaan Imlek tak jarang dikolaborasikan dengan kesenian setempat.

Kebijakan politik yang membahagiakan warga Tionghoa itu makin sempurna setelah Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Sebelumnya hanya libur fakultatif.

Megawati menerbitkan Keppres Nomor 19 Tahun 2002. Keppres itu bukan hanya memberi kesempatan warga Tionghoa merayakan Imlek tanpa gangguan hari kerja, melainkan juga pengakuan dan perlakuan setara terhadap warga Tionghoa dengan warga yang lain.

Kawan saya benar. Politik membuat warga Tionghoa tertekan saat Imlek, tapi politik juga yang membebaskannya.

Saya mencatat pelajaran penting. Hal mulia dan wibawa dari kekuasaan bukan seberapa lama kekuasaan itu dipegang, tapi seberapa tepat kekuasaan itu digunakan. Bukan soal waktu berkuasa, tapi manfaat saat berkuasa bagi kebaikan bersama dan kemaslahatan umum.

Gus Dur dan Megawati tak genap satu periode menjabat presiden. Tapi, kekuasaan itu telah membahagiakan warganya yang hendak merayakan Imlek.

Selamat merayakan Imlek bagi saudara-saudara warga Tionghoa, semoga menuai kebahagiaan dan keberuntungan, Gong Xi Fa Cai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Pantau Banjir Lahar Dingin di Sumbar, Janji Segera ke Sana

Jokowi Pantau Banjir Lahar Dingin di Sumbar, Janji Segera ke Sana

Nasional
12 Kriteria Fasilitas KRIS Pengganti Kelas BPJS

12 Kriteria Fasilitas KRIS Pengganti Kelas BPJS

Nasional
Dewas KPK Panggil 10 Saksi di Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini, Salah Satunya Alexander Marwata

Dewas KPK Panggil 10 Saksi di Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini, Salah Satunya Alexander Marwata

Nasional
Kasus TPPU SYL, KPK Sita Mercedes Benz Sprinter yang Disembunyikan di Pasar Minggu

Kasus TPPU SYL, KPK Sita Mercedes Benz Sprinter yang Disembunyikan di Pasar Minggu

Nasional
BMKG Prediksi Banjir Bandang di Sumbar sampai 22 Mei, Imbau Warga Hindari Lereng Bukit

BMKG Prediksi Banjir Bandang di Sumbar sampai 22 Mei, Imbau Warga Hindari Lereng Bukit

Nasional
DPR Gelar Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang, Puan dan Cak Imin Absen

DPR Gelar Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang, Puan dan Cak Imin Absen

Nasional
Kolaborasi Kunci Kecepatan Penanganan Korban, Rivan A Purwantono Serahkan Santunan untuk Korban Laka Bus Ciater

Kolaborasi Kunci Kecepatan Penanganan Korban, Rivan A Purwantono Serahkan Santunan untuk Korban Laka Bus Ciater

Nasional
Hujan Pemicu Banjir Lahar di Sumbar Diprediksi hingga 22 Mei, Kewaspadaan Perlu Ditingkatkan

Hujan Pemicu Banjir Lahar di Sumbar Diprediksi hingga 22 Mei, Kewaspadaan Perlu Ditingkatkan

Nasional
Revisi UU MK Disepakati Dibawa ke Paripurna: Ditolak di Era Mahfud, Disetujui di Era Hadi

Revisi UU MK Disepakati Dibawa ke Paripurna: Ditolak di Era Mahfud, Disetujui di Era Hadi

Nasional
BMKG: Hujan Lebat Pemicu Banjir Lahar di Sumbar Diprediksi sampai Sepekan ke Depan

BMKG: Hujan Lebat Pemicu Banjir Lahar di Sumbar Diprediksi sampai Sepekan ke Depan

Nasional
Sekian Harta Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Rahmady Effendi yang Dicopot dari Jabatannya

Sekian Harta Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta Rahmady Effendi yang Dicopot dari Jabatannya

Nasional
Pemerintah Disebut Setuju Revisi UU MK Dibawa ke Rapat Paripurna untuk Disahkan

Pemerintah Disebut Setuju Revisi UU MK Dibawa ke Rapat Paripurna untuk Disahkan

Nasional
Hari Ketiga di Sultra, Jokowi Resmikan Bendungan Ameroro dan Bagikan Bansos Beras

Hari Ketiga di Sultra, Jokowi Resmikan Bendungan Ameroro dan Bagikan Bansos Beras

Nasional
Ketua Dewas KPK Sebut Laporan Ghufron ke Albertina Mengada-ada

Ketua Dewas KPK Sebut Laporan Ghufron ke Albertina Mengada-ada

Nasional
Revisi UU MK yang Kontroversial, Dibahas Diam-diam padahal Dinilai Hanya Rugikan Hakim

Revisi UU MK yang Kontroversial, Dibahas Diam-diam padahal Dinilai Hanya Rugikan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com