Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Kelirumologi Tafsir Demokrasi

Kompas.com - 05/02/2024, 20:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TERLALU banyak kesimpulan dapat disimpulkan dari hasil kajian Pusat Studi Kelirumologi terhadap aneka-ragam tafsir demokrasi untuk dapat ditampilkan semua di dalam ruang terbatas naskah sederhana ini.

Di samping kajian kelirumologis yang selama dibuat oleh manusia sudah barang tentu mustahil lengkap dan benar secara paripurna, apalagi sempurna juga daya tafsir saya terlalu dangkal untuk mampu menarik kesimpulan sempurna.

Namun dari segenap kesimpulan yang mustahil sempurna tersebut dapat dipilih beberapa kesimpulan yang (menurut pendapat subyektif saya) agak mendekati kesempurnaan, antara lain mengenai beberapa tafsir keliru terhadap apa disebut sebagai demokrasi.

Misalnya, istilah demokrasi yang memang berasal dari bahasa Yunani = demokratia yang berasal dari perpaduan kata demos = rakyat dan kratos = kekuasaan menimbulkan tafsir keliru bahwa demokrasi berasal dari Yunani.

Jauh sebelum demokrasi resmi diselenggarakan di Athena, sistem tata negara dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat sudah dilakukan kaum Viking di Norwegia dan termasuk di Thingvellir, Eslandia.

Bahkan, menurut pendapat subyektf saya pribadi sebagai seorang warga Indonesia, sejarah peradaban mengindikasikan bahwa masyarakat adat Nusantara sejak dahulu kala sebelum monarki hadir, sebenarnya juga sudah mempraktikkan sistem sosio-politik-kultural dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.

Namun akibat lain-padang-lain-belalang, maka masing-masing sistem yang dibentuk masing-masing kelompok masyarakat niscaya senantiasa saling beda satu dengan lain-lainnya.

Maka adalah keliru apabila demokrasi di Indonesia dipaksa untuk menjadi sama dan sebangun alias menjiplak demokrasi negara lain. Juga keliru menganggap demokrasi Yunani kuno memberikan hak sama dan setara kepada segenap rakyat.

Demokrasi Yunani kuno secara diskriminatif tidak memberikan hak memilih kepada para budak, kaum perempuan dan para petani yang tidak memiliki tanah.

Tidak mengherankan apabila semula Amerika Serikat juga tidak sudi memberikan hak memilih kepada kaum perempuan dan kaum budak.

Sistem penghitungan suara pada pemilihan presiden Amerika Serikat sampai masa kini juga belum murni dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, maka memungkinkan Donald Trump terpilih menjadi presiden, meski de facto Hillary Clinton memperoleh lebih banyak suara rakyat.

Tidak kurang dari tokoh terkemuka pemikir Yunani kuno, Sokrates justru skeptis terhadap demokrasi, bahkan akhirnya jatuh sebagai korban keputusan keliru parlemen Athen yang dianggap dan menganggap diri demokratis.

Adolf Hitler yang dipilih secara demokratis di Jerman merupakan bukti kekeliruan demokrasi terburuk sepanjang sejarah peradaban marcapada.

Nama Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia pada hakikatnya juga keliru sebab pada kenyataan yang diwakili bukan rakyat, tetapi partai politik. Maka sebenarnya nama yang lebih benar adalah Dewan Perwakilan Parpol.

Dua di antara para sukma utama demokrasi adalah kebebasan berpendapat dan kebebasan mengungkapkan pendapat.

Namun sangat menyedihkan, masyarakat Indonesia masa kini dengan masa teknologi informasi yang secara demokratis dapat ditebarkan oleh siapa saja termasuk mereka yang tidak beradab, terbukti keliru menafsirkan kebebasan mengungkapkan pendapat menjadi kebebasan mengungkapkan kebencian.

Makin parah lagi kebebasan mengungkap kebencian dijabarkan secara sangat kreatif dalam berbagai bentuk mulai dari cemooh, caci maki, hujatan, bullying, hoax sampai fitnah keji yang sama sekali tidak selaras dengan kenyataan.

Kebebasan mengungkap kebencian benar-benar konsekuen dan konsisten diejawantahkan dengan sikap dan perilaku tidak selaras dengan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

Perbedaan pendapat dikeliru-tafsirkan sebagai pembenaran kebencian untuk saling curiga, benci, hujat, fitnah yang tentu saja potensial menjadi ancaman pemecah-belah bangsa yang sama sekali tidak selaras dengan sukma sejati demokrasi, bahkan juga kearifan adiluhur terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab serta Persatuan Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

21 Persen Jemaah Haji Indonesia Berusia 65 Tahun ke Atas, Kemenag Siapkan Pendamping Khusus

21 Persen Jemaah Haji Indonesia Berusia 65 Tahun ke Atas, Kemenag Siapkan Pendamping Khusus

Nasional
Jokowi Sebut Impor Beras Tak Sampai 5 Persen dari Kebutuhan

Jokowi Sebut Impor Beras Tak Sampai 5 Persen dari Kebutuhan

Nasional
Megawati Cermati 'Presidential Club' yang Digagas Prabowo

Megawati Cermati "Presidential Club" yang Digagas Prabowo

Nasional
Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK, Diduga Sewa Pengacara Sengketa Pileg untuk Lawan MK di PTUN

Anwar Usman Dilaporkan ke MKMK, Diduga Sewa Pengacara Sengketa Pileg untuk Lawan MK di PTUN

Nasional
Pascaerupsi Gunung Ruang, BPPSDM KP Lakukan “Trauma Healing” bagi Warga Terdampak

Pascaerupsi Gunung Ruang, BPPSDM KP Lakukan “Trauma Healing” bagi Warga Terdampak

Nasional
Momen Jokowi Bersimpuh Sambil Makan Pisang Saat Kunjungi Pasar di Sultra

Momen Jokowi Bersimpuh Sambil Makan Pisang Saat Kunjungi Pasar di Sultra

Nasional
Jokowi Jelaskan Alasan RI Masih Impor Beras dari Sejumlah Negara

Jokowi Jelaskan Alasan RI Masih Impor Beras dari Sejumlah Negara

Nasional
Kecelakaan Bus di Subang, Kompolnas Sebut PO Bus Bisa Kena Sanksi jika Terbukti Lakukan Kesalahan

Kecelakaan Bus di Subang, Kompolnas Sebut PO Bus Bisa Kena Sanksi jika Terbukti Lakukan Kesalahan

Nasional
Jokowi Klaim Kenaikan Harga Beras RI Lebih Rendah dari Negara Lain

Jokowi Klaim Kenaikan Harga Beras RI Lebih Rendah dari Negara Lain

Nasional
Layani Jemaah Haji, KKHI Madinah Siapkan UGD dan 10 Ambulans

Layani Jemaah Haji, KKHI Madinah Siapkan UGD dan 10 Ambulans

Nasional
Saksi Sebut Kumpulkan Uang Rp 600 juta dari Sisa Anggaran Rapat untuk SYL Kunjungan ke Brasil

Saksi Sebut Kumpulkan Uang Rp 600 juta dari Sisa Anggaran Rapat untuk SYL Kunjungan ke Brasil

Nasional
Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Soal Posisi Jampidum Baru, Kejagung: Sudah Ditunjuk Pelaksana Tugas

Nasional
KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

KPK Diusulkan Tidak Rekrut Penyidik dari Instansi Lain, Kejagung Tak Masalah

Nasional
Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Jokowi Tekankan Pentingnya Alat Kesehatan Modern di RS dan Puskesmas

Nasional
100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com