Putaran terakhir debat lebih dominan sebagai farewell party debat saja, dan sukar menjadi penghapus narasi-narasi debat yang heboh dengan aksi gimmick. Debat terakhir itu sekadar menjadi ending atau pengakhiran gimmick.
Pemerhati debat maupun semacam buzzer akan mendapat amunisi membuat narasi tentang produk dari debat berupa hasil pemilihan presiden-wapres.
Narasi model 1: pasangan capres-cawapres A perolehan suaranya tidak seheboh debatnya.
Narasi model 2 pasangan capres-cawapres B perolehan suaranya berbanding lurus dengan kehebohannya dalam debat.
Narasi model 3: pasangan capres-cawapres C perolehan suaranya berbanding terbalik dengan kehebohnya dengan debat.
Selama proses tahapan pemilihan, politik nasional dalam proses mencari presiden-wapres lima tahun ke depan sangat ramai dengan kreativitas narasi, yang bertendensi pro maupun antipasangan capres-cawapres.
Berkaca pada arus lalin produksi wacana capres-cawapres Pemilu 2009 dan 2014, narasi kreatif dalam arti positif maupun negatif tidak putus sampai pada hari penetapan hasil.
Pascapimpinan nasional terpilih, periode baru membangun narasi politik dimulai. Apabila dua pemilu sebelumnya polarisasi narasi politik mengerucut pada dua kubu (cebong Vs kampret), maka pascapemilihan 2024 bisa saja tercipta lagi tiga golongan politik.
Sejauh pada tahap debat media sosial, tidak ke bentuk penistaan, dan kekerasan fisik, polarisasi warna wacana politik pascapesta demokrasi bisa saja ditoleransi, dengan catatan “perkelahian narasi” masih mengedepankan etika komunikasi.
Sepuluh tahun terakhir, terdapat politik “sekterian” berbasis dukungan capres-cawapres sebagai warisan dari pertarungan politik, sebenarnya tidak perlu dilestarikan.
Faktanya, sisa-sisa warisan sekterian itu masih muncul dalam tahapan-tahapan pemilu presiden 2024, dan korbannya penantang petahana.
Persoalan wacana sekterian politik menjadi problem ketika opini mereka diamini dan menjadi pembenaran perangkat kekuasaan petahana untuk mengesahkan kekuasaan overacting, kekuasaan dinasti, dan kekuasaan menipulasi sumber daya ekonomi dan fasilitas negara, sebagai modal dan strategi membangun kekuasaan baru 2024-2029.
Menghapus “wacana sekterian politik” pasca-Pemilu 2024 sebagai gagasan strategis agar penyelenggaraan demokrasi tidak terstigmatisasi oleh “suara-suara berbayar”.
Namun gagasan ini mungkin saja laksana menegakkan benang basah di tembok. Atau situasi ini perlu dilestarikan agar politik nasional tetap panas dan dinamis?
Wacana sekterian politik bisa dihapus atau sebaliknya bertahan sangat berkaitan dengan siapa sosok presiden-wapres terpilih. Tiga peluang bisa terjadi nuansa politik pascapemimpin baru.
Peluang satu: pertarungan wacana dari pendukung capres-cawapres berakhir karena sistem politik top down dominan. Istilah Gramsci, kekuasaan hegeminik terbentuk akibatnya kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berserikat dikekang, diberangus.
Peluang dua: pertarungan wacana dari pendukung capres-cawapres makin terbuka karena pemimpin terpilih menerapkan komunikasi model bottom up dengan alasan mengembangkan keterbukaan dan demokrasi yang sehat.
Peluang tiga: pertarungan dari pendukung capres-cawapres tetap bergairah, tetapi pertarungan itu terbatas pada para buzzer berbayaran, yang tidak menghitung persoalan demokrasi dan keterbukaan serta kebebasan berpendapat. Yang penting berwacana sesuai pemesan agar mendapat cuan.
Apakah saat gimmick berakhir akan terbit buzzer pasca-Pemilu 2024? Apakah mereka bisa berkibar dan berkoar lantang seperti selama sepuluh tahun berjalan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.