"Ya itu hak demokrasi. Setiap orang boleh berbicara, berpendapat. Silakan," ujar Jokowi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (2/2/2024).
Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai, Jokowi hanya menyampaikan respons normatif ketika menyebut bahwa pernyataan sikap para guru besar sejumlah universitas merupakan bagian dari hak demokrasi.
Jika Presiden menganggap sikap para sivitas akademika tidak substansial, maka ia akan menganggap itu sebagai angin lalu. Namun, jika hal ini dianggap penting, Jokowi seharusnya mengambil sikap nyata.
“Kalau menganggap ajakan-ajakan dan suara dari profesor-profesor itu penting, ya harus sejalan, jangan ada upaya-upaya yang memang menabrak jalur-jalur demokrasi,” kata Adi kepada Kompas.com, Sabtu (3/2/2024).
Menurut Adi, pernyataan sikap sivitas akademika ini sebenarnya merupakan bentuk penebalan dari kritik yang telah lebih dulu disampaikan masyarakat sipil, mahasiswa, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengenai kondisi demokrasi di Indonesia.
Baca juga: Akademisi Ramai-ramai Kritik Jokowi, Airlangga: Itu Tokoh yang Pakai Nama Kampus
Memang, para guru besar merupakan opinion leader yang memiliki pemahaman dan informasi politik di atas rata-rata. Mereka punya kedalaman pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karenanya, kata Adi, ketika guru besar sudah turun tangan, artinya kondisi demokrasi dan Pemilu 2024 memang tidak baik-baik saja dan ada persoalan yang cukup serius.
“Kalau sudah guru besar yang bicara, ini ada level kedaruratan, ada darurat yang cukup serius yang mestinya harus disikapi,” ujarnya.
Adi tak memungkiri bahwa pernyataan sikap dari sivitas akademika ini rawan dianggap politis. Bahkan, ada yang menuding gerakan ini untuk menggembosi pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tertentu.
Namun, Adi menekankan bahwa sikap para guru besar ini berlandaskan pada gerakan politik moral, bukan pada kekuasaan politik partisan.
“Politik kebangsaan politik moralitas, bukan politik partisan. Toh yang dikritik Presiden, tidak pernah mengkritik paslon tertentu,” katanya.
Lagi pula, lanjut Adi, para guru besar menyampaikan kritik yang tujuannya untuk menjaga demokrasi bangsa, seperti imbauan netralitas presiden, aparatur pemerintah, hingga TNI dan Polri. Sikap kritis para sivitas akademika bukan ditujukan ke capres-cawapres tertentu.
“Jangan ada pihak-pihak tertentu yang seakan-akan merasa terzalimi, playing victim, apalagi baper ketika ada kelompok kampus mengkritik pemerintah. Enggak ada urusannya dengan capres,” tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.